GAYA BAHASA SEHARI-HARI DALAM ANTOLOGI PUISI BAJU BULAN KARYA JOKO PINURBO DAN TAMASYA CELURIT MINOR
KARYA M. HELMY PRASETYA
Hayyul Mubarok (20152110012)
GAYA BAHASA
SEHARI-HARI
DALAM ANTOLOGI
PUISI BAJU BULAN KARYA JOKO PINURBO
DAN TAMASYA CELURIT MINOR KARYA M. HELMY
PRASETYA
Stilistika (stylistic) adalah
ilmu tentang gaya, sedangkan stil (style) secara umum adalah cara-cara khas,
bagaimana segala sesuatu diungkapkan dengan cara tertentu, sehingga tujuan yang
dimaksudkan dapat dicapai secara maksimal. Stilistika berkaitan dengan
pengertian ilmu tentang gaya secara umum, meliputi seluruh aspek kehidupan
manusia. Stilistika dalam karya sastra merupakan bagian stilistika budaya itu
sendiri. Meskipun demikian, dengan adanya intensitas penggunaan bahasa, maka
dalam karya sastralah pemahaman stilistika paling banyak dilakukakan.
Gaya
bahasa bukan sekedar saluran, akan tetapi alat yang menggerakkan sekaligus
menyusun kembali dunia sosial itu sendiri. Gaya bahasa yang baik bagi
penulis maupun pembaca berfungsi untuk mengeksplorasi kemampuan bahasa
khususnya bahasa yang digunakan. Gaya bahasa dapat memperkaya cara berpikir,
cara pemahaman, dan cara perolehan terhadap substansi kultural pada
umumnya. Gaya bahasa dapat digunakan dalam segala ragam
bahasa baik ragam lisan, tulis, nonsastra, dan ragam sastra, karena gaya bahasa
adalah cara menggunakan bahasa dalam konteks tertentu oleh orang tertentu untuk
maksud tertentu. Akan tetapi, secara tradisional gaya
bahasa selalu ditautkan dengan teks sastra, khususnya teks sastra tertulis. Sebaliknya di dalam puisi. Puisi
merupakan bagian dari karya sastra. Teeuw dalam bukunya yang berjudul Tergantung
pada Kata (1980) menganalisis sepuluh puisi dari sepuluh penyair
terkenal, sehingga dapat mewakili ciri-ciri pemakaian bahasa pada masing-masing
puisi sekaligus mewakili kekhasan personalitas pengarangnya. Semua
pembicaraan mengenai gaya bahasa sudah diangkat ke tataran sistem sosial
sehingga dapat disebutkan sebagai stilistika sastra. Judul itu sendiri
menunjukkan hakikat kemampuan kata-kata dalam mengevokasi makna.
Membaca puisi berarti bergulat
secara terus menerus terhadap struktur bahasa. Sajak yang baik adalah
perjuangan total penyair, dan oleh karena itu, harus diimbangi dengan kemampuan
total pembaca. Dalam hubungan inilah dipermasalahkan ilmu gaya bahasa bukan
semata-mata gaya bahasa. Sejajar dengan perjuangan bangsa Indonesia dalam
revolusi dalam bidang bahasa, sastra, dan kebudayaan pada umumnya. Seperti apa
yang ada di dalam antologi puisi Baju Bulan
karya Joko Pinurbo dan antologi puisi Tamasya
Celurit Minor karya M. Helmy Prasetya yang di dalamnya beranekaragam gaya
bahasa sehari-hari yang termuat di dalamnya. Di dalamnya juga banyak metafor
untuk membolak-balik hubungan itu dan mengolah sudut pandang anak dengan
permaianan waktu yang memikat, serta gaya-gaya bahasa sehari-harinya tersebut
dapat membunuh pembaca.
Adanya maksud dari latar belakang
diatas, untuk mengungkap sebagian masalah gaya bahasa sehari-hari yang ada di
dalam antologi puisi Baju Bulan karya
Joko Pinurbo dan antologi puisi Tamasya Celurit
Minor karya M. Helmy Prasetya. Selain dari masalah tersebut yang akan
dibahas dalam permasalahan yang sederhana ini, ada juga metode yang akan
digunakan dalam pemecahannya yaitu, metode deskripsi kualitatif. Metode ini
merupakan metode yang mengurai bahan penelitian, lalu dikaitkan dengan teori.
Sedangkan kode yang digunakan yaitu terdiri,
judul buku/judul puisi/bait/halaman. Seperti contoh (bb/smup/2/15).
Keterangan, BB:Baju Bulan, SMUP:surat malam untuk paska, 2:bait, 15:halaman,
begitupun seterusnya.
Selanjutnya kajian teori. Secara etimologis stilistika berkaitan dengan style (bahasa
Inggris). Sytle artinya gaya, sedangkan stylistics artinya ilmu tentang gaya (Jabrohim 2001:172). Stilistika adalah style, yaitu cara
yang digunakan seorang pembicara atau penulis untuk menyatakan maksudnya dengan
menggunakan bahasa sebagai sarana (Sudjiman 1993:13). Gaya
dalam kaitan ini tentu saja mengacu pada pemakaian atau penggunaan bahasa
dalam karya satra.
Stilistika adalah ilmu yang meneliti penggunaan bahasa
dan gaya bahasa di dalam karya sastra (Sudjiman, 1993:3). Sangat menarik bahwa dalam perkembangan
linguistik terapan bahwa munculnya minat bahkan kesungguhan hati para
pakar linguis untuk menerapkan teori dan pendekatan linguistik dalam rangka
pengkajian sastra. Begitu eratnya pengkajian bahasa dan sastra, sehingga bidang studi
stilistika menjadi incaran yang menggairahkan bagi para ahli bahasa dan ahli
sastra. Stilistika dapat dianggap menjembatani kritik sastra dan linguistik, karena
stilistika mengkaji wacana sastra dengan mengkaji dengan orientasi
linguistik (Sudjiman 1993:3).
Menurut Jabrohim (2001:173), hubungan antara sastra dan
bahasa hamper selalu bersifat dialektis (bersangkutan). Sastra juga seringkali
mempengaruhi bahasa. Ciri khas sebuah karya sastra tidak saja dilihat berdasarkan
genrenya, tetapi dapat pula dilihat melalui konvensi sastra maupun konvensi
bahasanya. Khusus dalam kaitan bahasa dalam sastra, pengarang mengeksploitasi
potensi-potensi bahasa untuk menyampaikan gagasannya dengan tujuan tertentu. Stilistika sesungguhnya tidak hanya merupakan studi gaya bahasa dalam kesusastraan,
akan tetapi juga dalam bahasa pada umumnya. Namun,
perlu diingat bahwa karya sastra merupakan kesatuan wacana yang memuat seluruh
gagasan atau ide pengarangnya. Selain itu, karya sastra juga memiliki gaya
bahasa yang umumnya mencerminkan totalitas karya, tidak hanya sekadar
bagian-bagian dari aspek bahasa.
Kajian stilistika memperhatikan kekhasan gaya dan
mempelajari kecenderungan yang menonjol dan melupakan bahwa karya sastra
merupakan kesatuan (Jabrohim 2001:175). Kajian stilistika akan memberi
keuntungan besar bagi studi sastra jika dapat menentukan suatu prinsip yang mendasari
kesatuan karya sastra, dan jika dapat menemukan suatu tujuan estetika umum
yang menonjol dalam sebuah karya sastra dari keseluruhan unsurnya (Wellek 1989:229).
Kajian stilistika diarahkan untuk membahas isi karya
sastra. Kajian stilistika bertolak dari asumsi bahwa bahasa mempunyai tugas
dan peran yang penting dalam kehadiran karya sastra. Bahasa tidak dapat
dilepaskan dari sastra. Keindahan sebuah karya sastra sebagian besar disebabkan
kemampuan penulis mengeksploitasi kelenturan bahasa sehingga menimbulkan
kekuatan dan keindahan (Semi 1990:81). Dengan demikian, kajian stilistika secara
umum dilakukan sebagai upaya untuk menggali totalitas makna karya sastra
dan analisis secara khusus yang mencoba melihat gaya bahasa bagian perbagian.
Stilistika meneliti fungsi puitik bahasa (Sudjiman
1993:3). Akan tetapi, kajian stilistika juga digunakan sebagai metode untuk menghindari
kritik sastra yang bersifat impresif dan subjektif. Melalui kajian stilistika
diharapkan dapat memperoleh hasil yang memenuhi kriteria objektifitas dan keilmiahan (Aminuddin
1995:42).
Secara umum, lingkup telaah stilistika
mencakupi diksi atau pilihan kata (pilihan leksikal), struktur kalimat, majas,
citraan, pola rima, dan matra yang digunakan seorang sastrawan atau yang
terdapat dalam karya sastra (Sudjiman, 1993:13-14). Selain itu, aspek-aspek
bahasa yang ditelaah dalam studi stilistika meliputi intonasi, bunyi, kata, dan
kalimat sehingga lahirlah gaya intonasi, gaya bunyi, gaya kata, dan gaya
kalimat. Dari beberapa uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa stilistika
adalah ilmu tentang gaya bahasa dalam karya sastra, yang tidak hanya meneliti
tentang penggunaan bahasa yang ada di dalam karya sastra.
Gaya bahasa adalah cara pemakaian bahasa dalam karangan,
atau bagaimana seorang pengarang mengunkapkan sesuatu yang akan
dikemukakan. Style (gaya bahasa) menyarankan pada pemakaian bahasa dalam konteks
tertentu, oleh pengarang tertentu, dan untuk kajian tertentu. Menurut Satoto
(2012:150), gaya adalah cara mengungkapkan diri sendiri, entah melalui
bahasa, tingkah laku, berpakaian, dan sebagainya. Gaya merupakan perwujudan
penggunaan bahasa oleh seorang penulis untuk mengemukakan gambaran,
gagasan, pendapat, dan membuahkan efek tertentu bagi penanggapnya sebagaimana
cara yang digunakannya (Aminuddin 1995:1). Sebagai wujud cara menggunakan
kode kebahasaan, gaya merupakan relasional yang berhubungan dengan
rentetan kata, kalimat, dan berbagai kemungkinan manifestasi kode kebahasaan
sebagai sistem tanda. Menurut Muljana (dalam Pradopo 2010:93), gaya
bahasa adalah susunan perkataan yang terjadi karena perasaan yang timbul atau
hidup dalam hati penulis, yang menimbulkan suatu perasaan tertentu dalam hati
pembaca. Gaya itu menghidupkan kalimat dan
memberi gerak pada kalimat. Gaya bahasa tersebut untuk menimbulkan reaksi
tertentu dan menimbulkan tanggapan pikiran kepada pembaca.
Gaya bahasa adalah bahasa indah yang digunakan untuk
meningkatkan efek dengan jalan memperkenalkan serta membandingkan suatu benda
atau hal tertentu dengan benda atau hal lain yang lebih umum (Tarigan
2009:4). Gaya bahasa merupakan bentuk retorik, yaitu penggunaan kata-kata dalam
berbicara atau menulis untuk meyakinkan atau mempengaruhi penyimak dan
pembaca.
Menurut Jorgense dan Phillips (dalam Ratna 2009:84),
gaya bahasa bukan sekedar saluran, akan tetapi alat yang menggerakkan sekaligus
menyusun kembali dunia sosial itu sendiri. Lebih jauh menurut Simpson (dalam Ratna
2009:84), gaya bahasa yang baik bagi penulis maupun pembaca berfungsi untuk
mengeksplorasi kemampuan bahasa khususnya bahasa yang digunakan. Gaya bahasa dapat memperkaya
cara berpikir, cara pemahaman, dan cara perolehan terhadap substansi
kultural pada umumnya. Gaya bahasa dapat digunakan dalam segala ragam
bahasa baik ragam lisan, tulis, nonsastra, dan ragam sastra, karena gaya bahasa
adalah cara menggunakan bahasa dalam konteks tertentu oleh orang tertentu untuk
maksud tertentu (Sudjiman 1993:13). Akan tetapi, secara
tradisional gaya bahasa selalu ditautkan dengan teks sastra, khususnya teks
sastra tertulis. Gaya bahasa mencakup diksi atau pilihan leksikal, struktur
kalimat, majas dan citraan, pola rima, dan matra yang digunakan seorang sastrawan
atau yang terdapat dalam sebuah karya sastra.
Menurut Endraswara (2008:72), bahasa sastra adalah
bahasa khas. Khas karena bahasanya telah direkayasa dan dipoles sedemikian rupa. Dari
polesan itu kemudian muncul gaya bahasa yang manis. Dengan demikian, seharusnya pemakaian gaya
bahasa harus didasari penuh oleh pengarang. Bukan hanya suatu kebetulan gaya
diciptakan oleh pengarang demi keistimewaan karyanya. Jadi dapat
dikatakan jika pengarang pandai bersilat bahasa, kaya kata, dan mahir dalam menggunakan
gaya bahasa maka karyanya akan semakin mempesona dan akan lebih
berbobot. Pemilihan bentuk bahasa yang digunakan pengarang akan berkaitan
fungsi dan konteks pemakaiannya. Pemakaian gaya dalam sastra selalu dikaitkan
dengan konteks yang melatar belakangi pemilihan dan pemakaian bahasa. Semua
gaya bahasa itu berkaitan langsung dengan latar sosial dan kehidupan
dimana bahasa itu digunakan.
Nilai seni sastra ditentukan oleh gaya bahasanya
(Pradopo 1991:1). Gaya bahasa dapat dikatakan sebagai keahlian seorang pengarang dalam
mengolah kata-kata. Jangkauan gaya bahasa sangat luas, tidak hanya menyangkut
masalah kata tetapi juga rangkaian dari kata-kata tersebut yang meliputi frasa,
klausa, kalimat, dan wacana secara keseluruhan termasuk kemahiran pengarang dalam
memilih ungkapan yang menentukan keberhasilan, keindahan, dan kemasuk akalan
suatu karya yang merupakan hasil ekspresi diri.
Menurut Endraswara (2008:73), gaya bahasa merupakan seni
yang dipengaruhi oleh nurani. Melalui gaya bahasa sastrawan menuangkan
idenya. Bagaimanapun perasaan saat menulis, jika menggunakan gaya bahasa,
karya yang dihasilkan akan semakin indah. Jadi, dapat dikatakan gaya bahasa
adalah pembungkus ide yang akan menghaluskan teks sastra. Gaya bahasa
merupakan efek seni dalam sastra yang dipengaruhi juga oleh nurani.
Melalui gaya bahasa itu seseorang sastrawan akan menuangkan ekspresinya.
Gaya bahasa sastra memang berbeda dengan gaya bahasa dalam pembicaraan
sehari-hari. Gaya bahasa sastra adalah ragam khusus yang digunakan pengarang
untuk memperindah teks (Ratna 2009:161).
Semua gaya dalam hubungan ini gaya karya sastra, khususnya karya sastra yang berhasil
adalah artificial (buatan), diciptakan dengan sengaja. Gaya dengan demikian
adalah kualitas
bahasa, merupakan ekspresi langsung pemikiran dan perasaan. Tanpa adanya proses
hubungan yang harmonis antara pemikiran dan perasaan, maka gaya bahasa
tidak ada. Dalam aktivitas kreatif komunikasi antara pemikiran dan perasaan
diproduksi secara terus-menerus sejak awal hingga akhir cerita, sehingga keseluruhan
karya dapat dianggap memiliki gaya bahasa. Perbedaannya, ciri-ciri perasaan
dominan dalam puisi, sebaliknya, pemikiran dominan dalam prosa.
Untuk dapat memahami makna puisi secara total kita dapat
mengkaji hubungan stilistika itu sebagai salah satu unsur yang membangun puisi
tersebut dengan unsur-unsur yang lain secara keseluruhan. Menurut Abrams (dalam
Nurgiyantoro 2010:276), gaya bahasa (stile) adalah cara pengucapan
bahasa dalam prosa atau seorang pengarang mengungkapkan seseuatu
yang ingin dikemukakan. Stile ditandai oleh ciri-ciri formal kebahasaan seperti
pilihan kata, struktur kalimat, bentuk-bentuk bahasa figuratif, penggunaan
kohesi, dan lain-lain. Dalam stile (gaya bahasa) terdapat unsur-unsur yang mendukung keindahan
karya sastra. Menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro 2010:289), unsure stile terdiri
dari fonologi, sintaksis, leksikal, dan retorika (berupa karakteristik penggunaan
bahasa figuratif, pencitraan, dan sebagaianya). Analisis unsur stile dilakukan
dengan cara mengidentifikasi masing-masing unsur tanpa mengabaikan konteks,
menghitung frekuensi kemunculannya, menjumlahkan, dan mendeskripsikan kontribusinya
bagi stile dalam karya sastra secara keseluruhan. Sedangkan, menurut Lecch
(dalam Nugiyantoro 2010:289), mengemukakan bahwa unsur stile terdiri
dari unsur leksikal, gramatikal, penyiasatan strukur (figures of speech),
konteks, dan kohesi. Unsur stile dalam karya sastra yang berupa wujud
penggunaan bahasa mencakup seluruh penggunaan unsur bahasa dalam karya
sastra itu sendiri.
Dari beberapa beberapa uraian tersebut, dapat
disimpulkan bahwa gaya bahasa adalah bahasa khas pengarang dalam karya sastra. Gaya bahasa
dapat membuat karya sastra lebih hidup dan bervariasi serta dapat
menghindari hal-hal yang bersifat monoton yang dapat membuat pembaca bosan. Unsur gaya
bahasa terdiri atas fonologi, sintaksis, leksikal, dan retorika (berupa
karakteristik penggunaan bahasa figuratif, pencitraan, dan sebagaianya).
Begitukan dalam pembahasan Gaya Bahasa
Sehari-Hari Dalam Antologi Puisi Baju Bulan Karya Joko Pinurbo. Gaya bahasa merupakan
suatu cara pemakaian bahasa dalam karangan, atau bagaimana
seorang pengarang mengunkapkan sesuatu yang akan dikemukakan. Style (gaya
bahasa) menyarankan pada pemakaian bahasa dalam konteks tertentu, oleh pengarang
tertentu, dan untuk kajian tertentu. Gaya merupakan cara mengungkapkan diri sendiri, entah melalui bahasa,
tingkah laku, berpakaian, dan sebagainya. Begitupun gaya bahasa yang digunakan oleh penyair yang bernama Joko Pinurbo
tersebut. Di dalamnya mempunyai style
tersendiri seperti kutipan puisinya yang berada dalam antologi puisi Baju Bulan sebagai berikut.
PENUMPANG TERAKHIR
Setiap pulang kampung, aku selalui
menemui bang becak
yang mangkal di bawah pohon beringin
itu dan memintanya
mengantarkanku ke tempat-tempat yang
aku suka.
Entah, mengapa aku sering kangen
dengan becaknya
Mungkin karena genjotannya enak,
lancar pula lajunya.
(BB/PT/1/25)
Dari kutipan puisi tersebut,
mengungkapkan mengenai kejadian sehari-hari. Menegaskan bahwa setiap pulang
kampung ia selalu meminta antar pada tukang becak untuk keliling-keliling.
Dalam kutipan puisi tersebut cara penyampaiannya dengan gaya bahasa yang
sederhana, atau bahasa sehari-hari. Tapi, kutipan puisi yang menggunakan gaya
bahasa sehari-hari tersebut sangatlah
berkesan bagi pembaca. Seperti larik setiap
pulang kampung, dan juga tukang
becak, serta mengantarkanku ke
tempat-tempat yang aku suka itu semua merupakan kalimat sederhana, kalimat
sehari-hari yang mudah dimengerti.
Selain dari kutipan puisi di atas,
juga ada kutipan puisi yang berada dalam antologi puisi Baju Bulan yang menggunakan gaya bahasa sehari-hari seperti kutipan
puisi berikut
ANAK SEORANG PEREMPUAN
Hingga dewasa saya tidak tahu saya ini
Sebenarnya anak siapa. Sejak lahir
saya diasuh
Dan dibesarkan Ibu tanpa seorang ayah.
(BB/ASP/1/30)
Dari kutipan
tersebut, memperkuat mengenai penggunaan bahasa sehari-hari yang berada dalam
antologi puisi Baju Bulan karya Joko
Pinurbo tersebut. Seperti larik hingga dewasa saya tidak tahu saya ini
anaknya siapa yang merupakan gaya bahasa sehari-hari. Namun, penyampaiannya
sangat halus dan sangat menyentuh. Jika dilihat dari segi maknanya, puisi
tersebut telah sampai pada kodratnya walaupun dengan bahasa sederhana, atau
bahasa sehari-hari.
Gaya merupakan perwujudan penggunaan bahasa oleh seorang penulis
untuk mengemukakan gambaran, gagasan, pendapat, dan membuahkan efek tertentu bagi
penanggapnya sebagaimana cara yang digunakannya. Sebagai wujud cara menggunakan kode kebahasaan, gaya merupakan relasional
yang berhubungan dengan rentetan kata, kalimat, dan berbagai kemungkinan
manifestasi kode kebahasaan sebagai sistem tanda. Memang gaya bahasa adalah
susunan perkataan yang terjadi karena perasaan yang timbul atau hidup dalam
hati penulis, yang menimbulkan suatu perasaan tertentu dalam hati pembaca. Gaya itu menghidupkan kalimat dan memberi gerak pada kalimat. Gaya bahasa
tersebut untuk menimbulkan reaksi tertentu dan menimbulkan tanggapan pikiran
kepada pembaca. Di dalam kumpulan
puisi Baju Bulan karya Joko Pinurbo
juga mengurai hal seperti itu, seperti kutipan puisi berikut.
TEROMPET TAHUN BARU
Aku dan ibu pergi jalan-jalan ke pusat
kota
Untuk meramaikan malam tahun baru
(BB/TTB/1/58)
Nampak jelas kutipan tersebut, bahasa
yang digunakan sehari-hari. Seperti larik aku
dan ibu pergi jalan-jalan ke pusat kota, tanpa memikirkan hal berat pun
orang sudah mengerti ketika membacanya. Dan juga dilanjutkan pada larik untuk meramaikan malam tahun baru
semakin menggunakan kata sederhana. yaitu untuk merayakan tahun baru. Jika di
cermati secara sungguh-sungguh, kesinambungan kata tersebut sangatlah tajam.
Karena jika seseorang pergi ke kota, otomatis orang itu dari pedesaan. Ia pergi
jauh-jauh dari desa hanya untun merayakan tahun baru di pusat kota. Itulah
kekuatan makna yang ada walaupun bahasa tersebut sangat sederhana, atau bahasa
sehari-hari. Gaya bahasa sehari-hari jika dikemas dengan baik, maka bahasa itu akan menjadi indah dan mengalir dengan sendirinya
pada para pembaca.
Selanjutnya Pembahasan Gaya Bahasa Sehari-Hari
Dalam Antologi Puisi Tamasya Celurit Minor
Karya M. Helmy Prasetya. Gaya bahasa yang digunakan oleh penyair M. Helmy
Prasetya dalam antologi puisinya Tamasya Celurit Minor ini, juga
menyguhkan hal yang sama, namun tidak begitu nampak kalau itu bahasa
sehari-hari. Sedangkan jika dilihat dari judul antologi puisinya yaitu Tamasya Celurit Minor merupakan sebuah
perjalanan, atau jelajah dalam kehidupan. Namun pada pembahasan ini mengumkap pemakaian bahasa sederhana
atau sehari-hari. Seperti yang ada pada kutipan puisi berikut.
TAMASYA 1
Aku ingin jalan-jalan, Ayah
Melihat madura
Berjalanlah kau ke barat, Nak
Saat orang berkata surga maka
masuklah
(TCM/T1/1/1)
Nampak jelas bahwa kutipan puisi
tersebut menggunakan gaya bahasa sehari-hari. Jika di pahami secara serius,
kutipan puisi tersebut seperti dialog, mungkin memang dialog antara anak dan
ayah. Seorang anak yang menanyakan atau mengungkapkan keinginannya pada ayahnya
bahwa ia ingin jalan-jalan. lalu dijawab oleh ayahnya. Sedangkan penggunaan
gaya bahasa sehari-harinya terletak pada keutuhan bait puisi tersebut. Seperti
larik puisi Aku ingin jalan-jalan, Ayah
Melihat madura itulah bahasa sehari-hari. Jika dikaitkan dengan hal yang
lain, mungkin manusia pasti merasakan hal yang sama, ingin jalan-jalan dan
berdialog dengan bahasa tersebut walaupun tidak sama. Sedangkan kekuatan bait
puisi ini terletak pada sesuatu hal yang seolah-olah tak berdosa, seorang anak
yang mengajak ayahnya. Lalu di kuatkan dengan larik puisi Berjalanlah kau ke barat, Nak
dialog ayah yang menunjukkan ke arah yang baik. Saat orang berkata surga maka masuklah yang menunjukkan bahwa suau
nasihat terhadap anaknya untuk bisa memilah tentang jalan yang lurus, bukan
jalan yang tersesat, bisa juga dikatakan jalan keindahan.
Selain dari kutipan tersebut, juga ada
kutipan yang sama, dan menunjukkan bagaimana seorang
pengarang mengunkapkan sesuatu yang akan dikemukakan, menyarankan pada
pemakaian bahasa dalam konteks tertentu. Seperti kutipan antologi puisi Tamasya
Celurit Minor karya M. Helmy Prasetya berikut.
TAMASYA 4
Di atas tanah kami
Kami punya kampung yang rukun
Dalam sajian sambal ikan asin
Untuk kami suguhi kepada tamu
(TCM/T4/1/4)
Dari kutipan puisi tersebut
menunjukkan bahwa ada suasana perkampungan yang berada di tanah kelahiran,
serta hidangan yang sederhana, tapi sangat lezat. Sekilas pengantar dalam makna
yang terurai pada bait puisi tersebut. sedangkan bahasa yang digunakan sangatlah
sederhana, tapi sangat menyentuh pada pembaca. Mungkin bagi seseorang akan
merasakan dan mempunyai makanan yang khas di tanah kelahirannya.
Jika dilihat dari segi bahasa
sehari-hari yang digunakan terletak pada keutuhan bait tersebut. seperti larik di atas tanah kami, kami punya kampung yang
rukun yang merupakan bahasa yang sederhana, atau bahasa sehari-hari. Bahasa
yang datar, tapi berkesan. Lalu dilanjutkan pada larik dalam sajian sambal ikan asin, untuk kami suguhi kepada kami yang
merupakan bahasa yang sangat mudah dimengerti. Tapi bahasa tersebut akan
membuat orang berpikir, dan membayangkan suasana yang ada di dalam bait
tersebut, serta mengalir dalam pikirannya.
Pembahasan yang ke tiga yaitu, Perbedaan
Antara Antologi Puisi Baju Bulan
Karya Joko Pinurbo Dengan Tamasya Celurit
Minor Karya M. Helmy Prasetya. Keduanya adalah penyair yang di dalam
karyanya memuat gaya bahasa yang sederhana, tapi dapat membunuh pembaca, namun
ada perbedaan karakter gaya penulisan anatara keduanya. Di dalam antologi puisi
Baju Bulan misalnya, di dalamnya
mengarah pada suasana yang sedikit kasar dalam bahasanya. Sedangkan di dalam
antologi puisi Tamasya Celurit Minor sedikit
halus. Itu sekilas apa yang dibahas mengenai bait-bait puisi antara kedunya.
Walaupun jika di lihat dari keutuhan isi buku puisinya sama-sama ada yang
kasar, sama-sama saling membunuh. Hanya saja si peneliti membandingkan
bait-bait puisi yang di uarai dlam penelitian ini.
Menyimpulkan pembahasan di atas, gaya bahasa bukan sekedar saluran. Akan tetapi alat yang menggerakkan sekaligus
menyusun kembali dunia sosial itu sendiri. Gaya bahasa yang baik bagi
penulis maupun pembaca berfungsi untuk mengeksplorasi kemampuan bahasa
khususnya bahasa yang digunakan. Gaya bahasa dapat memperkaya cara berpikir,
cara pemahaman, dan cara perolehan terhadap substansi kultural pada
umumnya. Gaya bahasa dapat digunakan dalam segala ragam
bahasa baik ragam lisan, tulis, nonsastra, dan ragam sastra, karena gaya bahasa
adalah cara menggunakan bahasa dalam konteks tertentu oleh orang tertentu untuk
maksud tertentu. Akan tetapi, secara tradisional gaya
bahasa selalu ditautkan dengan teks sastra, khususnya teks sastra tertulis. Gaya
bahasa mencakup diksi atau pilihan leksikal, struktur kalimat, majas dan
citraan, pola rima, dan matra yang digunakan seorang sastrawan atau yang terdapat
dalam sebuah karya sastra.
Seperti apa yang ada di dalam antologi puisi kedua penyair tersebut mempunyai
ciri khas. Khas karena bahasanya telah
direkayasa dan dipoles sedemikian rupa. Dari polesan itu kemudian
muncul gaya bahasa yang manis. Dengan demikian, seharusnya pemakaian gaya
bahasa harus didasari penuh oleh pengarang. Bukan hanya suatu kebetulan gaya
diciptakan oleh pengarang demi keistimewaan karyanya. Jadi dapat
dikatakan jika pengarang pandai bersilat bahasa, kaya kata, dan mahir dalam menggunakan
gaya bahasa maka karyanya akan semakin mempesona dan akan lebih
berbobot. Pemilihan bentuk bahasa yang digunakan pengarang akan berkaitan
fungsi dan konteks pemakaiannya. Pemakaian gaya dalam sastra selalu dikaitkan
dengan konteks yang melatar belakangi pemilihan dan pemakaian bahasa. Semua
gaya bahasa itu berkaitan langsung dengan latar sosial dan kehidupan
dimana bahasa itu digunakan.
DAFTAR PUSAKA
Ratna,
Nyoman Kutha. 2009. STILISTIKA Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan
Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pinurbo,
2013. Baju Bulan.Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Prasetya,
2015. Tamasya Celurit Minor, Bangkalan: PT ML.
Pradopo,
Rachmat Djoko. 2012. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan
Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Aminnuddin. 1997. Stilistika,
Pengantar Memahami Karya Sastra.
Semarang: CV. IKIP Semarang Press.
Wellek, R dan Warren, A.
1993. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.
Nurhayati. 2008. Teori
dan Aplikasi Stilistik. Penerbit Unsri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar