KAJIAN
STILISTIKA
Gaya Bahasa
Tutur
BUKU NON FIKSI
“Membangun Tokoh”
Karya Constantin
Stanislavski
Dan “Nyanyi
Sunyi Seorang Bisu”
Karya Pramoedya Ananta Toer
DISUSUN
OLEH ANWAR SADAT
NIM
: 20152110028
I.
LATAR BELAKANG
Tidak semua orang punya kepiawaian
dalam berkomunikasi lisan (bahasa tutur) dan sekaligus mampu berkomunikasi
menulis (bahasa tulis) dengan baik. Biasanya kita sering menemukan orang
yang sangat piawai dalam mengemukakan idenya dalam bahasa tutur tetapi agak
kesulitan dalam menyampaikan idenya dalam bahasa tulis, demikian sebaliknya. Dalam kajian ini, ditemukan
penggunaan bahasa tutur yang digunakan sebagai gaya untuk membawa imajinasi pembaca
mengikuti alur. Tanpa sengaja bacaan ini sebenarnya adalah pengetahuan atau
ilmu yang telah ditulis dengan menggunakan gaya penulisan dengan bentuk seperti
cerita pengalaman. Buku ‘Membangun Tokoh’ Constantin Stanislavski dan ‘Nyanyi
Sunyi Seorang Buru’ karya Pramoedya Ananta Toer. Mereka menulis buku tersebut dengan
renungan-renungan, melalui tulisan dengan menggunakan bahasa tutur yang sangat
indah.
Renungan, adalah kegiatan memahami
dalam proses berpikir yang ingin berupaya mencari dan menemukan sesuatu menjadi
lebih jelas dan terpahamkan sebagai suatu ‘ilmu’ (well understandable).
Melalui renungan mendalam daya-daya atau potensi dimiliki dan yang berada dalam
diri seseorang akan membentuk organisasi yang baik antara indera-indera manusia
dan otak yang menyalurkan kekuatan kognisi, afeksi dan psikomotorik menjadi
satu kesatuan yang dapat ditampilkan berwujud bahasa tutur dan juga bahasa
tulis. Semakin kuat daya renung seseorang
atas obyek yang diamati dan ditelaah, maka akan semakin kuat pula keinginan
orang itu untuk menumbuhsuburkan dalam bentuk perilaku berwujud (bahasa tutur
dan bahasa tulis). Selanjutnya, bila makin sering merenung dan berpikir dengan
mewujudkannya dalam praktek sehari-hari serta dibiasakan untuk
dijabar-kembangkan dalam bentuk bahasa tutur dan tulis.
II.
KAJIAN TEORI
A. TENTANG GAYA BAHASA
Bahasa terdiri atas lambang-lambang,
yaitu tanda yang digunakan untuk menyatakan sesuatu yang lain. Di dalam bahasa,
tanda terdiri atas rangkaian bunyi yang pada ragam tulis dialihkan ke dalam
tanda-tanda visual, yaitu huruf dan tanda baca. Hubungan antara rangkaian bunyi tertentu
dan makna yang dinyatakannya bersifat arbitrer semata-mata, tidak ada hubungan
yang wajar antara lambang dan objek yang dilambangkannya. Misalnya bagaimana
hubungan antara rangkaian bunyi n-a-s-i “nasi” dengan benda yang dilambangkannya.
Yaitu beras yang sudah ditanak? Hubungan di antara keduanya bersifat
konvensional dan karenanya harus dipelajari.
Bahasa itu bersistem, maksudnya bahasa
adalah suatu keutuhan yang terjadi dari satuan-satuan yang lebih kecil,
masing-masing saling berhubungan secara khusus dan memiliki fungsi yang khas
pula. Jadi dapatlah dikatakan bahwa bahasa merupakan sistem lambang yang
terbentuk oleh satuan-satuan, fungsi satuan itu masing-masing serta antar
hubungannya. Sesungguhnya gaya bahasa terdapat dalam
segala ragam bahasa; ragam lisan dan ragam tulis, ragam nonsastra dan ragam
sastra, karena gaya bahasa adalah cara menggunakan bahasa dalam konteks
tertentu oleh orang tertentu untuk maksud tertentu. Akan tetapi, secara
tradisional gaya bahasa selalu ditautkan dengan teks sastra, khususnya teks
sastra tertulis.
Gaya bahasa mencakupi diksi atau pilihan
leksikal (sinonim), struktur kalimat, majas dan citraan, pola rima, matra yang
digunakan seorang sastrawan atau yang terdapat dalam sebuah karya sastra. Kita,
misalnya dapat menduga siapa pengarang sebuah karya sastra karena kita
menemukan ciri-ciri pengguna bahasa yang khas, kecendrungannya untuk secara
konsisten menggunakan struktur tertentu, gaya pribadi seseorang. Misalnya
Pramoedya dan Stanislavski dengan gaya bahasa yang khas dan imajiner. Stanislavski menulis buku non fiksinya
setebal 374 halaman menyuguhkan teori menjadi tokoh dalam teater atau drama
dalam bentuk cerita pengalaman dan perjalanannya. Sama seperti yang dituli oleh
Pramoedya Ananta Toer juga memberikan informasi akan pengalaman, informasi, dan
dokumen penting selama menjalani hukuman penjara sebagai tapol (tahanan
politik) di pulau buru pada masanya.
Dengan gaya bahasa tutur (cerita)
membuat tulisan dalam buku ini lebih menarik dibaca melalui proses imajinasi
yang angat kuat untuk menghasilkan gambaran pengalaman yang sudah mereka alami.
B. STILISTIKA UNTUK MEMAHAMI GAYA BAHASA
Stilistika adalah style, yaitu cara yang
digunakan seorang pembicara atau penulis
untuk menyatakan maksudnya dengan menggunakan bahasa sebagai sarana.
Dengan demikian style dapat diterjemahkan sebagai gaya bahasa. Stilistika berkaitan dengan berbagai
cabang dan tataran linguistik misalnya, dalam pengkajian penggunaan bahasa
suatu karya tulis atau efektivitas pengunaannya, mau tidakmau kitamenghampiri
sosiolinguistik (misalnya penggunaan bahasa prokem atau ragam daerah dalam
cakapan). Adapun menurut karakteristik karya sastra atau karya tulis itu
masing-masing, dapatlah kajian itu bergerak bada tataran fonologi, morfologi,
sintaksis, atau semantik.
Kajian stilistika tidak hanya dapat
diterapkan pada ragam karya puisi. Strukturnya yang ringkas memang memudahkan
pembahasan, tetapi dengan perluasan cakupan pengamatan dari kalimat ke wacana,
teks prosa yang lebih ekstensif pun dapat dijadikan bahan pengkajian stilistik.
Efek gaya bahasa dalam ragam prosa memang kurang menonjol dibandingkan dengan
metafor puisi yang padat. Ciri-ciri gaya baru dapat ditemukan pada teks prosa
yang relatif panjang itu setelah orang membacanya berulang-ulang.
Analisis stilistika tidak berpretensi
menggantikan kritik sastra, tetapi stilistika dapat membuka jalan untuk kritik
sastra yang lebih efektif. Lain daripada itu, jika merasa tertarik tanpa dapat
menerangkan apa yang menyebabkan ketertarikan tersebut. tertarik, terpukau,
menikmati karya sastra itu secara intuitif. Pengkajian stilistika tidak
bermaksud mematikan intuisi itu atau menggantikan interpretasi intuitif itu,
tetapi mencari pembenarannya dengan memperhatikan penggunaan sarana bahasanya,
mencari bukti kebahasaan yang mendukung interpretasi intuitif itu menuju
apresiasi sastra.
III.
METODE DAN
TEMUAN
Untuk menemukan gaya khas seorang
pengarang kita seharusnya membaca dan menelaah penggunaan bahasa dalam semua
karyanya, dan untuk memastikan apa yang disebut gaya suatu ragam atau jenis
sastra tertentu, kita seharusnya membaca dan menelaah penggunaan bahasa dalam
semua karya dari ragam atau jenis tersebut. Seperti dalam penelitian ini,
berusaha menemukan stilistika bahasa tutur yang dan juga perbedaan dari dua
buku yaitu ‘Membangun Tokoh’ karya Stanislavski dan ‘Nyanyi Sunyi Seorang Bisu’
karya Pramoedya Ananta Toer. Perbedaan disini dilihat dari aspek kepenulisan
mulai dari cara dan pilihan kata yang membentuk susunan kalimat yang indah dan
serat makna.
Demikian pula cara kerja untuk
menentukan gaya semasa/angkatan/aliran kesusastraan tertentu. Ranah penelitian
menjadi terlalu luas. Oleh karena itu, ranah penelitian stilistika biasanya
dibatasi pada teks tertentu saja. Jadi penelitian stilistika meneliti sebuah
teks sastra secara rinci dengan secara sistematis memperhatikan prefrensi
penggunaan kata atau struktur bahasa, mengamati antar hubungan pilihan itu untuk
mengidektifikasi ciri-ciri stilistik (stylistic
feature) yang membedakan pengarang, karya tradisi, atau periode lainnya.
Ciri ini dapat berifat fonologis (pola bunyi bahasa, matra, rima). Sintaksis
(tipe sturktur kalimat). Leksikal (diksi, frekuensi, penggunaan kelas kata
tertentu). Atau retoris (majas, citraan). Dalam pengkajian semacam itu akan
terlihat, misalnya bahwa konvensi rima dan matra dapat menjadi kendala
fonologis, sintaksis, dan semantis. Pengkajian semacam itu dapat juga membantu
menyingkapkan pola pengulangan yang merupakan ciri penting yang menyebabkan
adanya kepaduan karya.
IV.
PEMBAHASAN
A. Stilistika Bahasa Tutur Buku Non Fiksi ‘Membangun Tokoh’ Constantin Stanislavski
‘Membangun Tokoh’ adalah buku kajian
fiksi yang ditulis oleh Stanislavski, seorang yang ahli dibidang teater. Banyak
temuan-temuan dan pelajaran penting dalam buku ‘Membangun Tokoh’ ini, mengajarkan
bagaimana menjadi aktor teater yang baik di atas panggung. Tidak hanya sekedar
di atas panggung, tapi diluar itu banyak hal yang ternyata mengajarkan proses
pembentukan tokoh sampai tetek bengek. Menurut buku tersebut, seseorang akan bisa dalam pengertian mampu mewujudkan impiannya menjadi aktor
sejati jika memiliki ketekunan, kecermatan, kecerdasan, dan kecintaan penuh
dalam mempelajari suatu metode. Ketekunan diperlukan agar dalam memahami suatu
metode pikiran memusat.
Selanjutnya diperlukan kecermatan untuk
melakukan pemilahan agar terhindar dari kerancuan dalam memposisikan maupun
memfungsikan suatu pendapat maupun permasalah kemudian diperlukan kecerdasan
untuk memahami makna dibalik kata maupun kalimat agar pengertian yang didapat
memiliki dimensi pemahaman yang benar. Dari bahasa tutur dalam buku ini banyak
kita jumpai susunan kalimat yang indah. Dalam artian kata tidak hanya berdiri
sebagai pilihan kata saja. Tapi menyusun makna yang mengarah pada proses
berpikir sebagai penghayatan. Bisa kita lihat dari kalimat berikut ini;
‘Sebagai gadis
muda yang genit, tatapan Sonya meloncat ke sana ke mari dan kepalanya pusing
tujuh keliling melihat begitu banyak gaun indah. Sementara itu, aku masih belum
yakin akan menampilkan tokoh seperti apa dan ingin untung-untungan saja, kalau-kalau
dapat ilham di situ’
Disini dapat dilihat sebuah persoalan,
persoalan disini adalah tata cara memilih kostum yang sesuai dengan karakter
penokohan. Permasalahan ini dikiaskan dalam bentuk cerita pengalaman salah satu
murid di kelas teater. Stanislavski tidak langsung menjelaskan bagaimana cara
memilih kostum yang baik sesuai dengan karakter penokohan. Terlebih dahulu menyuguhkan
persoalan untuk mengajak pembaca menjadi sadar akan rumitnya menentukan kostum
yang tepat bagi sang aktor.
Kalimat-kalimat yang ditulis dalam buku
ini juga mengajak pembaca untuk membayangkan seperti apa gambaran kondisi
pelaku teater yang ada dalam kalimat dibawah ini;
‘Wajahku berubah
hijau kelabu kekuning-kuningan, seperti bagian dari perangkat kostumku. Sulit
membedakan yang mana hidungku, atau mataku, atau bibirku’
Bisa dibayangkan seperti apa kondisi
wajah yang berwarna hijau kelabu kekuning-kuningan ini. Perubahan itu bukan
disebabkan kondisi kulit. Tapi efek dari warna make-up yang campur aduk dan aktor hampir tak bisa mengenali bagian
wajahnya sendiri. Gambaran ini bentuk psikologis aktor dalam kondisi stres,
dalam memilih warna tepat merias wajahnya. Dalam buku ini tidak hanya memaparkan
bagaimana menjadi aktor yang baik. Stanilavski menyisipkan pesan penting dan
terdapat dalam kalimat berikut ini;
‘Seandainya
mereka mau menyimak dengan seksama seluk-beluk kerja tubuh mereka sendiri, akan
mereka rasakan suatu energi yang naik turun dari sumur terdalam kedirian
mereka’
Sumur terdalam kedirian mereka artinya
tidak hanya pada tubuh, dapat ditafsirkan dengan pengertian sifat atau pribadi.
Juga sumur terdalam ini bisa dipahami sebagai pusat energi untuk membangun
kekuatan fisik dan mental. Begitulah cara Stanislavski mengajak
pembaca memikirkan segala kemungkinan-kemungkinan yang terjadi saat berproses
menjadi seorang aktor yang baik. Tidak hanya sekedar latihan fisik. Tidak
sekedar memaparkan cara membentuk tubuh saja. Tapi juga mengajak untuk memahami
bagian dalam tubuh menyangkut psikologis tubuh sampai hal yang terkecil.
Seperti seorang aktor yang dituntut untuk memahami kepentingan tanda baca dalam
teks drama. Seperti tanda koma yang dipaparkan dalam buku ini.
‘Hal yang luar
biasa tentang koma adalah bahwa koma punya sifat yang ajaib. Garis lengkung
itu, nyaris seperti tangan terangkat untuk memberi peringatan, membuat
pendengar sabar menantikan akhir kalimat yang belum selesai’
Betapa pentingnya memahami tanda baca.
Stanilavki secara detail mengulas hal kecil menjadi hal yang besar. Dan itu
dianggap sebuah persoalan. Pentingnya tanda baca ini, koma punya sifat yang
ajaib. Berarti tidak hanya sekedar tanda baca sekedar untuk berhenti sejenak.
Namun berhenti sejenak itu sangat bernilai dalam membangun hubungan emosi
antara aktor dan lawan aktor, atau antara aktor dengan penonton saat pementasan. Elizabeth Reynolds Hapgood mengatakan
bahwa Stanislavski terus-menerus mengkaji tentang sifat-hakekat manusia, itulah
sentuhan yang menandai apa yang kemudian dikenal sebagai ‘sistem’ Stanilavski.
Basis semua teorinya dan inilah alasan mengapa teori-teorinya itu selalu
sedikit berubah-ubah; setiap kali kembali pada kajian tentang manusia ada hal
baru yang dipelajari. Seperti yang dikatakan di buku ini tentang metodenya.
A.
Stilistika Buku Non Fiksi “Nyanyi Sunyi Seorang Bisu” Karya Pramoedya Ananta
Toer
”Nyanyi Sunyi Seorang Bisu” adalah karya
non fiksi Pramoedya semasa tahanan di Buru, bukan novel. Buku ini merupakan kumpulan catatan berisi
surat-surat pribadi kepada anak-anaknya yang tak pernah terkirim. Juga
esai-esai, terutama angat mencengkam adalah renungan yang tajam merekam apa
yang dialami sebagai pribadi, sebagai suami dan ayah, sebagai pengarang dan
sebagai tahanan politik rejim militerisme yang merampas segala darinya; hasil
cipta jiwa dan pemikirannya berikut harta bendanya – naskah, buku, dokumentasi,
rumah, ampai kepada hak kebebasan kewarganegaraannya dan sebagai manusia.
Di sisi lain dalam juga dapat ditemukan
hal yang sama dengan karya Stanislavski, yaitu keindahan bahasa tutur dalam
penulisan teks yang tidak sekedar bercerita. Terdapat unsur dramatik dan proses
pencitraan dan pada akhirnya melahirkan makna-makna yang indah. Dalam teks
Nyanyi Sunyi Seorang Bisu ini mampu membangun imajinasi suana mencekam. Dimulai
dari perjalanan sampai derita selama menjadi tapol di Buru. Seperti kutipan di
bawah ini;
Kapal mulai
bersuling, lambat-lambat meninggalkan Sodong dan Wijayapura. Kehidupan hutan
dan gunung-gemunung Nusa Kambangan Mulai nampak bergerak.
Kutipan di atas dapat bisa dibayangkan
suasana sunyi keberangkatan menuju pulau yang dianggap sebagai tempat yang
sangat mengerikan bagi siapa pun. tempat pengasingan yang jauh dari kata
nikmatnya hidup. Kesan dramatik pada kalimat kapal mulai bersuling,
lambat-lambat meninggalkan Sodong dan kalimat kehidupan Nusa Kambangan mulai
nampak bergerak ini mengilustrasikan keadaan. Hal ini sebagai kias perjalanan
menuju mimpi buruk. Menuju penderitaan sebab disana tidak ada orang lain selain
tahanan dan petugas. Dari kalimat lain bisa kita temukan persoalan yang juga
menggambarkan suasana keberangkatan menuju pulau Buru. Lihat di bawah ini;
Begitu memasuki
ruangan yang ditunjuk, ruangan di mancung hidung haluan di bawah dek, kontan
balik kanan jalan, hidung disumbat. Ruangan itu penuh bukitan kotoran manusia.
Pramoedya menggunakan bahasa kias di
mancung hidung haluan di bawah dek kapal. Membaca kalimat ini kapal menjadikan
kapal seperti manusia. Kapal tua dalam proses bencitraan bisa terbayangkan
tidak sekaku usianya. Hidung mancung biasanya dimiliki oleh seseorang yang
memiliki wajah tampan atau cantik. Tapi bisa kita bayankan setelah membaca
kalimat terakhir, seperti apa kondisi kapal tersebut. betapa buruknya. Kapal
setua itu tidak hanya kondisi mesinnya yang buruk, bagian dalam kapal lebih
mengerikan lagi dari sebuah tahanan. Kondisi kapal secara utuh tergambarkan
dalam kalimat di bawah ini;
Kapal kami terus
terengah-engah, berderak-derak, tiga ribu lima ratus ton bobot mati. Meluncur
cepat, secepat bersepeda santai keliling kota.
Sebuah metafora yang agak menggelitik dari
penggalan kalimat di atas. Kapal meluncur
dengan cepat, secepat bersepeda santai keliling kota. Umumnya bersepeda
santai itu lajunya lambat. Tidak berpedoman pada target kecepatan seperti
balapan. Jadi kondisi kapal itu benar-benar parah. Selain kondisi fisiknya,
lajunya pun pelan. Ini sebuah metafora yang akhirnya susunan kalimat ini membentuk
imajinasi pada sebuah kondisi fisik dari sebuah kapal sebagai alat tranportasi
yang mengangkut para tahanan ke Pulau Buru. Proses pencitraan ini menggambarkan
betapa menyedihkan perjalanan mereka menuju Pulau pengasingan dengan kondisi
kapal yang sudah tua. Keindahan bahasa tutur yang ditulis oleh Pramoedya Ananta
Toer juga ditemukan dalam kalimat di bawah ini.
Dan pengeras
suara itu terus-menerus memutar keroncong yang lembek kemanisan dan pengumuman
yang sama, dan fatwa orang gereja itu, dan wejangan pejabat entah siapa yang
untuk kesekian kalinya mengucapkan selamat pada kami yang sedang “Menuju ke
Hidup Baru.”
Keroncong yang lembek dan kemanisan ini
adalah kias dari suasana yang dicptakan oleh pengeras suara yang ada di tahanan
itu. diputar terus-menerus mejelaskan pada suasana membosankan. Begitulah cara
Pramoedya membuat catatan perjalanannya selama ada di pulau buru. Catatan itu
mendekati cerita yang lebih dari sekedar nyata dalam imajinasi pembaca. Tidak
hanya menampilkan dokumentasi apa yang telah dia lakukan selama menjalani
tahanan. Tapi rekaman peristiwa memilukan yang terjadi di Pulau Buru.
B. Perbedaan Gaya Penulisan Constantin Stanislavski Dan Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta Toer dan Contantin
Stanislavski mempunya latar belakang kehidupan yang berbeda yang pada akhirnya
juga mempengaruhi gaya penulisannya. Pramoedya adalah seorang sastrawan yang
memiliki latar belakang kehidupan yang divonis sebagai pemberontak, sebagai
tahanan politik pada masanya.
Pramoedya merangkum semua catatannya
menjadi dua buah buku. Buku tentang perjalanannya selama menjadi tapol dan juga
mencatat apa yang telah terjadi di sana. Kepentingan buku ‘Nyanyi Sunyi Seorang
Bisu’ yang ditulisnya menjadi catatan penting untuk kebenaran sejarah. Sebab
Pramoedya tidak hanya sekedar menulis indah. Tapi Pramoedya juga merekam bagian penting dari kebenaran-kebenaran
yang terjadi selama menjadi tapol.
Beda halnya dengan apa yang ditulis
dalam buku ‘Membangun Tokoh’ karya Constantin Stanislavski. Dia menulis buku
ini untuk kepentingan pengetahuan dengan cara menulis pengalamannya dalam
berkesenian khususnya seni teater. Cara membentuk tokoh yang baik di dalam
dunia keatoran. Stanislavski mengajarkan ilmu penokohan dengan cara bercerita
pengalama selama berproses teater bersama mahasiswanya di Kampus.
Namun yang menjadi istimewa dalam kedua
buku tersebut adalah cara penalaran yang menggunakan metode penulisan dengan
gaya penuturan dalam bentuk cerita. Dari cara ini pembaca dapat membangun
imajinasi tersendiri melalui kesadaranya menyerap informasi penting dari kepentingan
buku tersebut.
V.
PENUTUP
Berdasarkan
analisis dalam pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut.
1. Keunikan atau
kekhasan pemakaian bahasa pada kedua buku yaitu Membangun Tokoh Karya Constantin
Stanislavski dan buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu Karya Pramoedya Ananta Toer dilatarbelakangi
oleh faktor sosial budaya dan pendidikan penulis yang diungkapkan melalui
deskripsi ceritanya. Adapun keunikan pemilihan dan pemakaian kosakata yaitu
tampak pada pembentukan karateristik kalimat yang banyak menggunakan metafor
dan bahasa imajinasi menjadi ciri khusus dari kedua penulis buku tersebut.
2. Pemakaian gaya
bahasa figuratif pada kedua buku tersebut membuat pengungkapan maksud menjadi
lebih mengesankan, lebih hidup, lebih jelas dan lebih menarik. Beberapa bahasa
figuratif yang terdapat dalam pembahasan Membangun Tokoh dan Nyanyi Sunyi
Seorang Bisu yaitu idiom, arti kiasan, konotasi, metafora, metonimia, simile,
personifikasi, dan hiperbola. Gaya kepenulisan tersebut merupakan contoh
pemanfaatan bentuk penggunaan gaya bahasa figuratif yang unik dan menimbulkan
efek-efek estetis pada pembaca. Constantin Stanislavaski dan Promoedya Ananta
Toer mampu memilih dan memanfaatkan kosakata-kosakata yang metaforis yang
disesuaikan dengan makna dalam kalimat.
DAFTAR
PUSTAKA
Constantin
Stanislavski. 2008. Membangun Tokoh. Jakarta: KPG (kepustakaan Populer Gramedia)
Pramoedya
Ananta Toer. 2000. Nyanyi Sunyi Seorang
Bisu. Jakarta: Hasta Mitra
Rene Wellek
& Austin Warren. 1989. Teori
Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia
Panuti Sudjiman.
1993. Bunga Rampai Stilistika.
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
Tidak ada komentar:
Posting Komentar