Minggu, 29 November 2015

KAJIAN STILISTIKA Gaya Bahasa Tutur BUKU NON FIKSI “Membangun Tokoh” Karya Constantin Stanislavski Dan “Nyanyi Sunyi Seorang Bisu” Karya Pramoedya Ananta Toer DISUSUN OLEH ANWAR SADAT NIM : 20152110028



KAJIAN STILISTIKA
Gaya Bahasa Tutur
BUKU NON FIKSI “Membangun Tokoh”
Karya Constantin Stanislavski
Dan “Nyanyi Sunyi Seorang Bisu”
     Karya Pramoedya Ananta Toer

DISUSUN OLEH ANWAR SADAT

NIM : 20152110028
 
 
I.              LATAR BELAKANG



Tidak semua orang punya kepiawaian dalam berkomunikasi lisan (bahasa tutur) dan sekaligus mampu berkomunikasi menulis (bahasa tulis) dengan baik.  Biasanya kita sering menemukan orang yang sangat piawai dalam mengemukakan idenya dalam bahasa tutur tetapi agak kesulitan dalam menyampaikan idenya dalam bahasa tulis, demikian sebaliknya. Dalam kajian ini, ditemukan penggunaan bahasa tutur yang digunakan sebagai gaya untuk membawa imajinasi pembaca mengikuti alur. Tanpa sengaja bacaan ini sebenarnya adalah pengetahuan atau ilmu yang telah ditulis dengan menggunakan gaya penulisan dengan bentuk seperti cerita pengalaman. Buku ‘Membangun Tokoh’ Constantin Stanislavski dan ‘Nyanyi Sunyi Seorang Buru’ karya Pramoedya Ananta Toer. Mereka menulis buku tersebut dengan renungan-renungan, melalui tulisan dengan menggunakan bahasa tutur yang sangat indah.



Renungan, adalah kegiatan memahami dalam proses berpikir yang ingin berupaya mencari dan menemukan sesuatu menjadi lebih jelas dan terpahamkan sebagai suatu ‘ilmu’ (well understandable). Melalui renungan mendalam daya-daya atau potensi dimiliki dan yang berada dalam diri seseorang akan membentuk organisasi yang baik antara indera-indera manusia dan otak yang menyalurkan kekuatan kognisi, afeksi dan psikomotorik menjadi satu kesatuan yang dapat ditampilkan berwujud bahasa tutur dan juga bahasa tulis. Semakin kuat daya renung seseorang atas obyek yang diamati dan ditelaah, maka akan semakin kuat pula keinginan orang itu untuk menumbuhsuburkan dalam bentuk perilaku berwujud (bahasa tutur dan bahasa tulis). Selanjutnya, bila makin sering merenung dan berpikir dengan mewujudkannya dalam praktek sehari-hari serta dibiasakan untuk dijabar-kembangkan dalam bentuk bahasa tutur dan tulis.



II.              KAJIAN TEORI



A.    TENTANG GAYA BAHASA



Bahasa terdiri atas lambang-lambang, yaitu tanda yang digunakan untuk menyatakan sesuatu yang lain. Di dalam bahasa, tanda terdiri atas rangkaian bunyi yang pada ragam tulis dialihkan ke dalam tanda-tanda visual, yaitu huruf dan tanda baca. Hubungan antara rangkaian bunyi tertentu dan makna yang dinyatakannya bersifat arbitrer semata-mata, tidak ada hubungan yang wajar antara lambang dan objek yang dilambangkannya. Misalnya bagaimana hubungan antara rangkaian bunyi n-a-s-i “nasi” dengan benda yang dilambangkannya. Yaitu beras yang sudah ditanak? Hubungan di antara keduanya bersifat konvensional dan karenanya harus dipelajari.




Bahasa itu bersistem, maksudnya bahasa adalah suatu keutuhan yang terjadi dari satuan-satuan yang lebih kecil, masing-masing saling berhubungan secara khusus dan memiliki fungsi yang khas pula. Jadi dapatlah dikatakan bahwa bahasa merupakan sistem lambang yang terbentuk oleh satuan-satuan, fungsi satuan itu masing-masing serta antar hubungannya. Sesungguhnya gaya bahasa terdapat dalam segala ragam bahasa; ragam lisan dan ragam tulis, ragam nonsastra dan ragam sastra, karena gaya bahasa adalah cara menggunakan bahasa dalam konteks tertentu oleh orang tertentu untuk maksud tertentu. Akan tetapi, secara tradisional gaya bahasa selalu ditautkan dengan teks sastra, khususnya teks sastra tertulis.




Gaya bahasa mencakupi diksi atau pilihan leksikal (sinonim), struktur kalimat, majas dan citraan, pola rima, matra yang digunakan seorang sastrawan atau yang terdapat dalam sebuah karya sastra. Kita, misalnya dapat menduga siapa pengarang sebuah karya sastra karena kita menemukan ciri-ciri pengguna bahasa yang khas, kecendrungannya untuk secara konsisten menggunakan struktur tertentu, gaya pribadi seseorang. Misalnya Pramoedya dan Stanislavski dengan gaya bahasa yang khas dan imajiner. Stanislavski menulis buku non fiksinya setebal 374 halaman menyuguhkan teori menjadi tokoh dalam teater atau drama dalam bentuk cerita pengalaman dan perjalanannya. Sama seperti yang dituli oleh Pramoedya Ananta Toer juga memberikan informasi akan pengalaman, informasi, dan dokumen penting selama menjalani hukuman penjara sebagai tapol (tahanan politik) di pulau buru pada masanya.

Dengan gaya bahasa tutur (cerita) membuat tulisan dalam buku ini lebih menarik dibaca melalui proses imajinasi yang angat kuat untuk menghasilkan gambaran pengalaman yang sudah mereka alami.





B.    STILISTIKA UNTUK MEMAHAMI GAYA BAHASA



Stilistika adalah style, yaitu cara yang digunakan seorang pembicara atau penulis  untuk menyatakan maksudnya dengan menggunakan bahasa sebagai sarana. Dengan demikian style dapat diterjemahkan sebagai gaya bahasa. Stilistika berkaitan dengan berbagai cabang dan tataran linguistik misalnya, dalam pengkajian penggunaan bahasa suatu karya tulis atau efektivitas pengunaannya, mau tidakmau kitamenghampiri sosiolinguistik (misalnya penggunaan bahasa prokem atau ragam daerah dalam cakapan). Adapun menurut karakteristik karya sastra atau karya tulis itu masing-masing, dapatlah kajian itu bergerak bada tataran fonologi, morfologi, sintaksis, atau semantik.

Kajian stilistika tidak hanya dapat diterapkan pada ragam karya puisi. Strukturnya yang ringkas memang memudahkan pembahasan, tetapi dengan perluasan cakupan pengamatan dari kalimat ke wacana, teks prosa yang lebih ekstensif pun dapat dijadikan bahan pengkajian stilistik. Efek gaya bahasa dalam ragam prosa memang kurang menonjol dibandingkan dengan metafor puisi yang padat. Ciri-ciri gaya baru dapat ditemukan pada teks prosa yang relatif panjang itu setelah orang membacanya berulang-ulang.

Analisis stilistika tidak berpretensi menggantikan kritik sastra, tetapi stilistika dapat membuka jalan untuk kritik sastra yang lebih efektif. Lain daripada itu, jika merasa tertarik tanpa dapat menerangkan apa yang menyebabkan ketertarikan tersebut. tertarik, terpukau, menikmati karya sastra itu secara intuitif. Pengkajian stilistika tidak bermaksud mematikan intuisi itu atau menggantikan interpretasi intuitif itu, tetapi mencari pembenarannya dengan memperhatikan penggunaan sarana bahasanya, mencari bukti kebahasaan yang mendukung interpretasi intuitif itu menuju apresiasi sastra.
 
  

III.              METODE DAN TEMUAN



Untuk menemukan gaya khas seorang pengarang kita seharusnya membaca dan menelaah penggunaan bahasa dalam semua karyanya, dan untuk memastikan apa yang disebut gaya suatu ragam atau jenis sastra tertentu, kita seharusnya membaca dan menelaah penggunaan bahasa dalam semua karya dari ragam atau jenis tersebut. Seperti dalam penelitian ini, berusaha menemukan stilistika bahasa tutur yang dan juga perbedaan dari dua buku yaitu ‘Membangun Tokoh’ karya Stanislavski dan ‘Nyanyi Sunyi Seorang Bisu’ karya Pramoedya Ananta Toer. Perbedaan disini dilihat dari aspek kepenulisan mulai dari cara dan pilihan kata yang membentuk susunan kalimat yang indah dan serat makna.

Demikian pula cara kerja untuk menentukan gaya semasa/angkatan/aliran kesusastraan tertentu. Ranah penelitian menjadi terlalu luas. Oleh karena itu, ranah penelitian stilistika biasanya dibatasi pada teks tertentu saja. Jadi penelitian stilistika meneliti sebuah teks sastra secara rinci dengan secara sistematis memperhatikan prefrensi penggunaan kata atau struktur bahasa, mengamati antar hubungan pilihan itu untuk mengidektifikasi ciri-ciri stilistik (stylistic feature) yang membedakan pengarang, karya tradisi, atau periode lainnya. Ciri ini dapat berifat fonologis (pola bunyi bahasa, matra, rima). Sintaksis (tipe sturktur kalimat). Leksikal (diksi, frekuensi, penggunaan kelas kata tertentu). Atau retoris (majas, citraan). Dalam pengkajian semacam itu akan terlihat, misalnya bahwa konvensi rima dan matra dapat menjadi kendala fonologis, sintaksis, dan semantis. Pengkajian semacam itu dapat juga membantu menyingkapkan pola pengulangan yang merupakan ciri penting yang menyebabkan adanya kepaduan karya.
 

IV.              PEMBAHASAN


A.    Stilistika Bahasa Tutur Buku Non Fiksi ‘Membangun Tokoh’ Constantin Stanislavski



‘Membangun Tokoh’ adalah buku kajian fiksi yang ditulis oleh Stanislavski, seorang yang ahli dibidang teater. Banyak temuan-temuan dan pelajaran penting dalam buku ‘Membangun Tokoh’ ini, mengajarkan bagaimana menjadi aktor teater yang baik di atas panggung. Tidak hanya sekedar di atas panggung, tapi diluar itu banyak hal yang ternyata mengajarkan proses pembentukan tokoh sampai tetek bengek. Menurut buku tersebut, seseorang akan bisa dalam pengertian mampu mewujudkan impiannya menjadi aktor sejati jika memiliki ketekunan, kecermatan, kecerdasan, dan kecintaan penuh dalam mempelajari suatu metode. Ketekunan diperlukan agar dalam memahami suatu metode pikiran memusat.




Selanjutnya diperlukan kecermatan untuk melakukan pemilahan agar terhindar dari kerancuan dalam memposisikan maupun memfungsikan suatu pendapat maupun permasalah kemudian diperlukan kecerdasan untuk memahami makna dibalik kata maupun kalimat agar pengertian yang didapat memiliki dimensi pemahaman yang benar. Dari bahasa tutur dalam buku ini banyak kita jumpai susunan kalimat yang indah. Dalam artian kata tidak hanya berdiri sebagai pilihan kata saja. Tapi menyusun makna yang mengarah pada proses berpikir sebagai penghayatan. Bisa kita lihat dari kalimat berikut ini;



‘Sebagai gadis muda yang genit, tatapan Sonya meloncat ke sana ke mari dan kepalanya pusing tujuh keliling melihat begitu banyak gaun indah. Sementara itu, aku masih belum yakin akan menampilkan tokoh seperti apa dan ingin untung-untungan saja, kalau-kalau dapat ilham di situ’



Disini dapat dilihat sebuah persoalan, persoalan disini adalah tata cara memilih kostum yang sesuai dengan karakter penokohan. Permasalahan ini dikiaskan dalam bentuk cerita pengalaman salah satu murid di kelas teater. Stanislavski tidak langsung menjelaskan bagaimana cara memilih kostum yang baik sesuai dengan karakter penokohan. Terlebih dahulu menyuguhkan persoalan untuk mengajak pembaca menjadi sadar akan rumitnya menentukan kostum yang tepat bagi sang aktor.



Kalimat-kalimat yang ditulis dalam buku ini juga mengajak pembaca untuk membayangkan seperti apa gambaran kondisi pelaku teater yang ada dalam kalimat dibawah ini;



‘Wajahku berubah hijau kelabu kekuning-kuningan, seperti bagian dari perangkat kostumku. Sulit membedakan yang mana hidungku, atau mataku, atau bibirku’



Bisa dibayangkan seperti apa kondisi wajah yang berwarna hijau kelabu kekuning-kuningan ini. Perubahan itu bukan disebabkan kondisi kulit. Tapi efek dari warna make-up yang campur aduk dan aktor hampir tak bisa mengenali bagian wajahnya sendiri. Gambaran ini bentuk psikologis aktor dalam kondisi stres, dalam memilih warna tepat merias wajahnya. Dalam buku ini tidak hanya memaparkan bagaimana menjadi aktor yang baik. Stanilavski menyisipkan pesan penting dan terdapat dalam kalimat berikut ini;



‘Seandainya mereka mau menyimak dengan seksama seluk-beluk kerja tubuh mereka sendiri, akan mereka rasakan suatu energi yang naik turun dari sumur terdalam kedirian mereka’



Sumur terdalam kedirian mereka artinya tidak hanya pada tubuh, dapat ditafsirkan dengan pengertian sifat atau pribadi. Juga sumur terdalam ini bisa dipahami sebagai pusat energi untuk membangun kekuatan fisik dan mental. Begitulah cara Stanislavski mengajak pembaca memikirkan segala kemungkinan-kemungkinan yang terjadi saat berproses menjadi seorang aktor yang baik. Tidak hanya sekedar latihan fisik. Tidak sekedar memaparkan cara membentuk tubuh saja. Tapi juga mengajak untuk memahami bagian dalam tubuh menyangkut psikologis tubuh sampai hal yang terkecil. Seperti seorang aktor yang dituntut untuk memahami kepentingan tanda baca dalam teks drama. Seperti tanda koma yang dipaparkan dalam buku ini.



‘Hal yang luar biasa tentang koma adalah bahwa koma punya sifat yang ajaib. Garis lengkung itu, nyaris seperti tangan terangkat untuk memberi peringatan, membuat pendengar sabar menantikan akhir kalimat yang belum selesai’



Betapa pentingnya memahami tanda baca. Stanilavki secara detail mengulas hal kecil menjadi hal yang besar. Dan itu dianggap sebuah persoalan. Pentingnya tanda baca ini, koma punya sifat yang ajaib. Berarti tidak hanya sekedar tanda baca sekedar untuk berhenti sejenak. Namun berhenti sejenak itu sangat bernilai dalam membangun hubungan emosi antara aktor dan lawan aktor, atau antara aktor dengan penonton saat pementasan. Elizabeth Reynolds Hapgood mengatakan bahwa Stanislavski terus-menerus mengkaji tentang sifat-hakekat manusia, itulah sentuhan yang menandai apa yang kemudian dikenal sebagai ‘sistem’ Stanilavski. Basis semua teorinya dan inilah alasan mengapa teori-teorinya itu selalu sedikit berubah-ubah; setiap kali kembali pada kajian tentang manusia ada hal baru yang dipelajari. Seperti yang dikatakan di buku ini tentang metodenya.  

A.    Stilistika Buku Non Fiksi “Nyanyi Sunyi Seorang Bisu” Karya Pramoedya Ananta Toer

”Nyanyi Sunyi Seorang Bisu” adalah karya non fiksi Pramoedya semasa tahanan di Buru, bukan novel.  Buku ini merupakan kumpulan catatan berisi surat-surat pribadi kepada anak-anaknya yang tak pernah terkirim. Juga esai-esai, terutama angat mencengkam adalah renungan yang tajam merekam apa yang dialami sebagai pribadi, sebagai suami dan ayah, sebagai pengarang dan sebagai tahanan politik rejim militerisme yang merampas segala darinya; hasil cipta jiwa dan pemikirannya berikut harta bendanya – naskah, buku, dokumentasi, rumah, ampai kepada hak kebebasan kewarganegaraannya dan sebagai manusia.
Di sisi lain dalam juga dapat ditemukan hal yang sama dengan karya Stanislavski, yaitu keindahan bahasa tutur dalam penulisan teks yang tidak sekedar bercerita. Terdapat unsur dramatik dan proses pencitraan dan pada akhirnya melahirkan makna-makna yang indah. Dalam teks Nyanyi Sunyi Seorang Bisu ini mampu membangun imajinasi suana mencekam. Dimulai dari perjalanan sampai derita selama menjadi tapol di Buru. Seperti kutipan di bawah ini;

Kapal mulai bersuling, lambat-lambat meninggalkan Sodong dan Wijayapura. Kehidupan hutan dan gunung-gemunung Nusa Kambangan Mulai nampak bergerak.

Kutipan di atas dapat bisa dibayangkan suasana sunyi keberangkatan menuju pulau yang dianggap sebagai tempat yang sangat mengerikan bagi siapa pun. tempat pengasingan yang jauh dari kata nikmatnya hidup. Kesan dramatik pada kalimat kapal mulai bersuling, lambat-lambat meninggalkan Sodong dan kalimat kehidupan Nusa Kambangan mulai nampak bergerak ini mengilustrasikan keadaan. Hal ini sebagai kias perjalanan menuju mimpi buruk. Menuju penderitaan sebab disana tidak ada orang lain selain tahanan dan petugas. Dari kalimat lain bisa kita temukan persoalan yang juga menggambarkan suasana keberangkatan menuju pulau Buru. Lihat di bawah ini;

Begitu memasuki ruangan yang ditunjuk, ruangan di mancung hidung haluan di bawah dek, kontan balik kanan jalan, hidung disumbat. Ruangan itu penuh bukitan kotoran manusia.

Pramoedya menggunakan bahasa kias di mancung hidung haluan di bawah dek kapal. Membaca kalimat ini kapal menjadikan kapal seperti manusia. Kapal tua dalam proses bencitraan bisa terbayangkan tidak sekaku usianya. Hidung mancung biasanya dimiliki oleh seseorang yang memiliki wajah tampan atau cantik. Tapi bisa kita bayankan setelah membaca kalimat terakhir, seperti apa kondisi kapal tersebut. betapa buruknya. Kapal setua itu tidak hanya kondisi mesinnya yang buruk, bagian dalam kapal lebih mengerikan lagi dari sebuah tahanan. Kondisi kapal secara utuh tergambarkan dalam kalimat di bawah ini;

Kapal kami terus terengah-engah, berderak-derak, tiga ribu lima ratus ton bobot mati. Meluncur cepat, secepat bersepeda santai keliling kota.

Sebuah metafora yang agak menggelitik dari penggalan kalimat di atas. Kapal meluncur  dengan cepat, secepat bersepeda santai keliling kota. Umumnya bersepeda santai itu lajunya lambat. Tidak berpedoman pada target kecepatan seperti balapan. Jadi kondisi kapal itu benar-benar parah. Selain kondisi fisiknya, lajunya pun pelan. Ini sebuah metafora yang akhirnya susunan kalimat ini membentuk imajinasi pada sebuah kondisi fisik dari sebuah kapal sebagai alat tranportasi yang mengangkut para tahanan ke Pulau Buru. Proses pencitraan ini menggambarkan betapa menyedihkan perjalanan mereka menuju Pulau pengasingan dengan kondisi kapal yang sudah tua. Keindahan bahasa tutur yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer juga ditemukan dalam kalimat di bawah ini.

Dan pengeras suara itu terus-menerus memutar keroncong yang lembek kemanisan dan pengumuman yang sama, dan fatwa orang gereja itu, dan wejangan pejabat entah siapa yang untuk kesekian kalinya mengucapkan selamat pada kami yang sedang “Menuju ke Hidup Baru.”

Keroncong yang lembek dan kemanisan ini adalah kias dari suasana yang dicptakan oleh pengeras suara yang ada di tahanan itu. diputar terus-menerus mejelaskan pada suasana membosankan. Begitulah cara Pramoedya membuat catatan perjalanannya selama ada di pulau buru. Catatan itu mendekati cerita yang lebih dari sekedar nyata dalam imajinasi pembaca. Tidak hanya menampilkan dokumentasi apa yang telah dia lakukan selama menjalani tahanan. Tapi rekaman peristiwa memilukan yang terjadi di Pulau Buru.

  
B.     Perbedaan Gaya Penulisan Constantin Stanislavski Dan Pramoedya Ananta Toer

Pramoedya Ananta Toer dan Contantin Stanislavski mempunya latar belakang kehidupan yang berbeda yang pada akhirnya juga mempengaruhi gaya penulisannya. Pramoedya adalah seorang sastrawan yang memiliki latar belakang kehidupan yang divonis sebagai pemberontak, sebagai tahanan politik pada masanya.

Pramoedya merangkum semua catatannya menjadi dua buah buku. Buku tentang perjalanannya selama menjadi tapol dan juga mencatat apa yang telah terjadi di sana. Kepentingan buku ‘Nyanyi Sunyi Seorang Bisu’ yang ditulisnya menjadi catatan penting untuk kebenaran sejarah. Sebab Pramoedya tidak hanya sekedar menulis indah. Tapi Pramoedya  juga merekam bagian penting dari kebenaran-kebenaran yang terjadi selama menjadi tapol.

Beda halnya dengan apa yang ditulis dalam buku ‘Membangun Tokoh’ karya Constantin Stanislavski. Dia menulis buku ini untuk kepentingan pengetahuan dengan cara menulis pengalamannya dalam berkesenian khususnya seni teater. Cara membentuk tokoh yang baik di dalam dunia keatoran. Stanislavski mengajarkan ilmu penokohan dengan cara bercerita pengalama selama berproses teater bersama mahasiswanya di Kampus.

Namun yang menjadi istimewa dalam kedua buku tersebut adalah cara penalaran yang menggunakan metode penulisan dengan gaya penuturan dalam bentuk cerita. Dari cara ini pembaca dapat membangun imajinasi tersendiri melalui kesadaranya menyerap informasi penting dari kepentingan buku tersebut.































V.              PENUTUP


Berdasarkan analisis dalam pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut.

1. Keunikan atau kekhasan pemakaian bahasa pada kedua buku yaitu Membangun Tokoh Karya Constantin Stanislavski dan buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu Karya Pramoedya Ananta Toer dilatarbelakangi oleh faktor sosial budaya dan pendidikan penulis yang diungkapkan melalui deskripsi ceritanya. Adapun keunikan pemilihan dan pemakaian kosakata yaitu tampak pada pembentukan karateristik kalimat yang banyak menggunakan metafor dan bahasa imajinasi menjadi ciri khusus dari kedua penulis buku tersebut.

2. Pemakaian gaya bahasa figuratif pada kedua buku tersebut membuat pengungkapan maksud menjadi lebih mengesankan, lebih hidup, lebih jelas dan lebih menarik. Beberapa bahasa figuratif yang terdapat dalam pembahasan Membangun Tokoh dan Nyanyi Sunyi Seorang Bisu yaitu idiom, arti kiasan, konotasi, metafora, metonimia, simile, personifikasi, dan hiperbola. Gaya kepenulisan tersebut merupakan contoh pemanfaatan bentuk penggunaan gaya bahasa figuratif yang unik dan menimbulkan efek-efek estetis pada pembaca. Constantin Stanislavaski dan Promoedya Ananta Toer mampu memilih dan memanfaatkan kosakata-kosakata yang metaforis yang disesuaikan dengan makna dalam kalimat.




DAFTAR PUSTAKA

Constantin Stanislavski. 2008. Membangun Tokoh.  Jakarta: KPG (kepustakaan Populer Gramedia)
Pramoedya Ananta Toer. 2000. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Jakarta: Hasta Mitra
Rene Wellek & Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia
Panuti Sudjiman. 1993. Bunga Rampai Stilistika. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar