Kamis, 16 November 2017

Pantun Karya Siswa Siswi kelas 11 SMA Surabaya Cambridge School



PANTUN KARYA JASON SUTANTO / G11 ( SMA Surabaya Cambridge School )


JENAKA

Jalan – jalan ke kota Hong Kong
Jangan lupa membeli singkong
Biar mati diinjak king kong
Asal dapat duit sekantong




Siang malam macet di jalan
Jangan lupa makan roti sobek
Siang malam di mall jalan - jalan
Sadarkah kamu celanamu itu robek

 
Terik siang makan tahu goreng
Jangan lupa garam dan juga merica
Setiap hari lu merasa ganteng
Sudahkah anda melihat kaca?

Tahun depan petani panen
Siap melihat keranjang penuh
Kamu jalan merasa keren
Bro, celana lu bolong tuh


Jalan jalan ke kota batu
Sambil membuat pantun yang lucu
Kalau kamu ingin melucu,
Bukalah hatimu untuk sapu itu
 



Senin, 22 Februari 2016

DIKSI DAN BUNYI DALAM KUMPULAN PUISI BERSAMA SUARA WAKTU AnalisiPuisi Oleh: Moh. Rosidi (20152110023)



BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Menilik perbandingan dunia sastra, khususnya puisi adalah salah satu bentuk upaya untuk melestarikan dunia tulis menulis. Puisi sebagai sebuah bentuk pemikiran tidak terlepas dari aspek yang membagunnya mulai dari struktur hingga sarana-sarana kepuitisan dikarenakan produk pemikiran sastra tidak terlepas dari berbagai produk lain, dan dengan sendirinya, tidak terlepas dari kerangka berpikir serta sikap hidup yang melahirkan berbagai produk pemikiran tersebut (Darma, 2007:95).
Sepanjang zaman puisi selalu mengalami perubahan dan perkembangan. Hal ini mengigat hakikat puisi sebagai karya seni yang selalu terjadi ketegangan antara konvensi dan pembaharuan (inovasi).Puisi selalu berubah-ubah sesuai dengan evolusi selera dan perubahan konsep estetikanya, hal ini disebabkan karena bentuk-bentuk formal itu merupkan sarana-sarana kepuitisan saja, bukan hakikat puisi yang berubah-berubah.Penyair dapat menulis dan mengkombinasikan sarana-sarana kepuitisan yang disukainya.Sarana kepuitisan yang berupa diksi atau pilihan kata secara tepat memberikan makna seintensitas mungkin.Riffaterre (dalam Pradopo, 2007:3).
Meskipun demikian, orang tidak akan memahami puisi secara sepenuhnya tanpa mengetahui dan menyadari bahwa puisi secara sepenuhnya tanpa mengetahui dan menyadari bahwa puisi itu karya estetis yang bermakna, yang mempunyai arti, bukan hanya sesuatu yang kosong tanpa makna. Oleh karena itu, sebelum pengkajian aspek-aspek yang lain, perlu lebih dahulu puisi dikaji sebagai struktur yang bermakna dan bernilai estetis.Di samping itu, karena puisi itu merupakan struktur tanda-tanda yang bermakna dan bersistem, maka analisi yang disatukan dengan analisis semiotik.
Sesungguhnya,untuk mendapatkan makna puisi yang sepenuhnya,di samping analisis secara struktur dan semiotika, maka analisis sajak tidak dapat dipisahkan dari kerangka sejarah sastranya,namun dalam penelitian ini hanya struktur dan semiotika saja yang akan di analisis secara jelas.
Menurut Pradopo (2007:120) pendekatan semiotika adalah analisis teks sastra melalui tanda (lambang) yang mempunyai makna yang mempergunakan medium bahasa.Bahasa sebagai medium sastra sudah merupakan sistem semiotik atau ketandaan, yaitu sistem-sistem ketandaan yang mempunyai arti.Medium karya sastra bukanlah bahan yang bebas (netral) seperti bunyi pada musik atau warna pada lukisan.Lambang-lambang atau tanda-tanda kebahasaan itu berupa satuan bunyi yang mempunyai arti oleh koevensi masyarakat. Sistem ketentuan itu  yang disebut semiotika.
Pada dasarnya puisi memiliki teks yang dihadirkan dihadapan pembaca, di dalalamnya sudah ada potensi komunikatif.Pemilihan potensi komunikatif itu salah satunya ditandai dengan digunakannya lambing-lambang kebahasaan yang sifatnya artistik (Aminuddin, 2004:124).Simbol yang memiliki keindahan artistik inilah yang ditangkap sebagai fenomena dan seterusnya diklasifikasi ke dalam kategori tertentu sebagai gejala bunyi teks, pemilihan kata, dan struktur kalimat. Pemahaman fenomina bunyi, diksi simbol, dan struktur kalimat simbol ini dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan semiotika Michael Riffaterre

1.2   Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian estetika  simbol puisi diantaranya adalah diksi, gaya bahasa, bunyi, kata, denotasi, konotasi, citraan, sarana retorika, struktur kalimat, metafora, personifikasi, allegori, dan kosakata dalam antologi puisi  Suara Waktu Lotmann (dalam Ratna, 2013:111).


1.3   Batasan Masalah
Agar analisis ini lebih fokus, maka analisis ini dibatasi pada persoalan estetika simbol bunyi dan estetika diksi simbol dalam antologi puisi Suara Waktu.

1.4   Rumusan Masalah
Secara singkat penelitian ini dirumuskan sebagai berikut.
1.    Bagaimana estetika bunyi dalam antologi puisiSuara Waktu?
2.   Bagaimana estetika diksi dalam antologi puisiSuara Waktu?

1.5   Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.       Untuk mendeskripsikan estetika bunyi dalam antologi puisi Suara Waktu.
2.      Untuk mendeskripsikan estetika diksi dalam antologi puisiSuara Waktu.

1.6   Manfaat
Ada dua manfaat yang dapat diambil dalam analisis antologi puisi  Suara Waktu  yaitu manfaat teoretis dan manfaat praktis. Berikut uraian dari masing-masing manfaat tersebut.

1.       Manfaat Teoretis
Secara teoretis, analisis ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam pengembangan kajian sastra, khususnya kajian estetika simbol.Dengan demikian analisis ini dapat membantu mengungkapkan sisi keindahan sebuah puisi dari segi simbol.

2.      Manfaat Praktis
Penelitian ini dapat memberikan sumbangan khasanah kesusastraan Indonesia, dalam ruang estetika puisi.Manfaat bagi peneliti lainnya adalah sebagai acuan untuk memperluas kajian tentang puisi, dan bagi guru untuk bahan ajar dalam kegiatan belajar mengajar khususnya dalam apresiasi puisi.
Manfaat praktis lainnya berhubungan dengan pengajaran sastra, yakni hasil penelitian dapat diterapkan sebagai materi alternatif di dalam mata kuliah, khususnya apresiasi puisi dan kritik sastra.


BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1   Kajian Estetika
Dalam penelitian estetika simbol dalam antologi puisiSuara Waktu, peneliti menemukan satu penelitian yang relevan, yakni penelitian yang dilakukan oleh peneliti.Dalam penelitian diungkap unsur-unsur bunyi liris mantra dalam beberapa sajak yang menggunakan pendekatan semiotik dengan menggunakan teori semiotika sastra.
            Sedangkan dalam penelitian estetika simbol dalam antologi puisi  Suara Waktu, peneliti mencobamengungkap unsur dan struktur kepuitisan puisi melalui bentuk bunyi, diksi, dan kalimat yang dianalisi menggunakan semiotik Michael Riffaterre.
            Padanan kata estetika dalam bahasa Indonesia juga dikenal dengan istilah ‘keindahan’. Sebuah kata yang sangat familier dalam kehidupan sehari-hari keindahan dapat ditafsirkan bahwa yang sedang dibicarakan itu mengandung hal-hal kebaikan. Sebaliknya, seorang yang membicarakan antonim dari keindahan (keburukan) sudah dapat kita terka bahwa yang dibicarakan tersebut dapat merugikan dirinya dan orang lain.
            Secara kebahasaan, keindahan berasal dari bentuk kata (indah) dan konflik (ke-an). Dari bentukan kata ini dapat  ditafsirkan bahwa kata ‘indah’ merupakan kelompok kata adjektif (sifat) selalu terikat dengan kata-kata yang lain, baik dengan kelompok kata nomina (benda) ataupun keindahan memiliki arti proses mempercantik atau memperelok.
            Estetika puisi pada hakikatnya mempunyai sisi naratif yang elegan.Puisi membentuk sebuah cerita sosial, sejarah, dan budayanya masing-masing.Membuka intrik yang dilakukan masyarakat kekinian untuk selanjutnya dijadikan fenomena baru dalam dunia sastra, khususnya puisi.Setiap simbol puisi memiliki kamuflase yang rapat, dan cenderung sembunyi-sembunyi.

Namun semuanya akan kembali pada bentuk semula bahwa puisi adalah estetika yang kerap menimbulkan seni artistik tinggi. Efek estetik karya sastra sebagai keseluruhan, begitu juga konkretisasinya, tunduk kepada perubahan yang terus menerus. Kekuatan sebuah karya sastra tergantung pada kualitas yang dikandung secara potensial karya itu dalam perkembangan norma sastra. Jika karya sastra dinilai positif, maka bila norma berubah, itu berarti bahwa karya tersebut mempunyai jangka hidup yang lebih panjang daripada sebuah karya yang efektivitas estetikanya habis dengan lenyapnya norma sastra pada masanya (Vodicka, 1964:79). 
Nilai estetis selain terdiri dari keindahan sebagai nilai yang positif kini dianggap pula meliputi nilai yang negatif.Hal yang menunjukkan nilai negatif itu ialah kejelekan (ugliness).Kejelekan tidaklah berarti kosongnya atau kurangnya ciri-ciri yang membuat sesuatu benda disebut indah, melainkan menunjuk pada ciri-ciri yang ternyata bertentangan sepenuhnya dengan keindahan tersebut.Karena itu, kini keindahan dan kejelekan sebagai nilai estetis yang positif dan yang negatif menjadi sasaran penelaahan dari estetik filsafati. Dan nilai estetis pada umumnya kini diartikan sebagai kemampuan dari sesuatu benda  untuk menimbulkan suatu pengalaman estetis.
Permasalahan yang muncul kemudian adalah bagaimana seorang pengamat menanggapi atau memahami sesuatu karya estetika atau karya sastra.Seseorang tidak lagi hanya membahas sifat-sifat yang merupakan kualitas dari benda estetik, melainkan juga menelaah kualitas yang terjadi pada karya estetik tersebut, terutama usaha untuk menguraikan dan menjelaskan secara cermat, dan lengkap dari semua gejala psikologis yang berhubungan dengan keberadaan karya sastra tersebut (The Liang Gie 1976: 51).
            Dikarenakan teori ini sesuai dengan objek penelitian yang berupa antologi puisi yang didalamnya terdapat beberapa simbol puisi.Adapun penjelasan lainnya yaitu sebagai berikut.


2.2 Hubungan Estetika Simbol dengan Sastra
     Puisi juga merupakan karya seni yang mediumnya sudah bersifat tanda (simbol) yang mempunyai arti, yaitu bahasa.Tanda kebahasaan itu adalah bunyi yang dipergunakan sebagai simbol, yaitu tanda hubungan itu ditentukan konvensi masyarakat (Pradopo, 2007:47).
     Puisi adalah salah satu bentuk karya seni sastra yang memiliki keindahan yang dinamis. Pada hakikatnya  puisi yang paling baik adalah puisi yang memandang kesusastraan sebagai karya sastra yang di dalam fungsi estetikannya dominan, yaitu fungsi seninya berkuasa Werren (dalam Pradopo, 2007:215).
     Menurut Sarjono (2001:120) puisi merupakan bagian dari fiksi, puisi pun membangun sebuah dunia baru yang fiksional. Di sana dihidupkan sebuah dunia dalam kata-kata, yakni dunia mungkin. Dunia yang tidak harus faktual namun memiliki jembatan bagi segala yang mungkin dalam kenyataan.
     Karya sastra merupakan sebuah sistem yang mempunyai konvensi-konensi sendiri.Dalam sastra ada jenis-jenis sastra (genre) dan ragam-ragam; jenis sastra prosa dan puisi, prosa mempunyai ragam cerpen, novel, dan roman (ragam utama).Genre puisi mempunyai ragam puisi lirik, syair, pantun, sonata, balada, dan sebagainya. Tiap ragam itu merupakan  sistem yang mempunyai konvensi-konvensi sendiri. Dalam menganalisis karya sastra, peneliti harus menganalisis sistem tanda itu dan menentukan konvensi-konvensi apa yang memungkinkan tanda-tanda atau struktur tanda-tanda dalam ragam sastra itu mempunyai makna (Pradopo, 2013:122).
       Sebagai contohnya, genrepuisi merupakan sistem tanda, yang mempunyai satuan-satuan tanda (yang minimal) seperti kosakata, bahasa kiasan, di antaranya: personafikasi, simile, metafora, dan metomini. Tanda-tanda itu mempunyai makna berdasarkan konvensi-konvensi (dalam) sastra.
     Diantara konvensi-konvensi puisi adalah konvensi kebahasaan bahasa kiasan, sarana retorika, gaya bahasa pada umumnya. Di samping itu, ada konvensi ambiguitas (makna ganda), kontradiksi, dan nosense. Ada pula konvensi konvensi visual berhubung karya sastra (puisi) yang ditulis, konvensi visual tersebut diantaranya: bait, baris sajak, enjambement, sajak (rima), tipologi, dan homolongue.Konvensi kepuitisan visual sajak tesebut dalam linguistik tidak mempunyai arti, tetapi dalam sastra mempunyai atau mencipta makna.Tentu saja, masih ada konvensi-konvensi lain yang menyebabkan karya sastra mempunyai makna (Pradopo, 2013:123).

2.3  Semiotika Sastra
     Secara ringkas dan kasar bahwa manusia dibangun atas dasar bahasa, sedangkan bahasa itu sendiri adalah sistem simbol.Simbol bukanlah kelas objek, simbol-simbol hadir hanya dalam pikiran penafsir.Tidak ada simbol kecuali jika diinterpretaskan sebagai simbol. Secara definitif simbol adalah tentang sesuatu yang lain dari pada dirinya sendiri. Lampu hijau dipersimpangan jalan tidak dimaksudkan untuk berpikir mengenai warna hijau, melainkan untuk terus melanjutkan perjalanan.Dalam sebuah teks sastra secara keseluruhan terdiri atas ciri-ciri tersebut Riffatette (dalam Pradopo, 2007:120).
     Menemukan simbol makna dari suatu puisi pertama diperlukan analisis karya sastra, di sini sajak khususnya sebagai sistem tanda-tanda dan menentukan konvensi-konvensi apa yang memungkinkan karya sastra mempunyai makna. Dengan melihat variasi-variasi di dalam struktur sajak antar unsur-unsurya akan dihasilkan bemacam-macam makna. Riffaterre (dalam Pradopo, 2007:123) mengemukakan satuan konvensi itu misalnya alur, setting, gaya bahasa, dan bunyi teks. Adapun tambahan konvensi di luar kebahasaan adalah tipologi sajak, persajakan citraan, estetika, dan konvensi-konvensi yang ada dalam sastra.


2.4 Estetika Bunyi
Dalam puisi bunyi bersifat estetik, merupakan unsur puisi untuk mendapatkan keindahan dan tenaga ekspresif.Bunyi ini erat hubungannya dengan anasir-anasir musik, misalnya lagu, melodi, irama, dan sebagainya.Bunyi disamping hiasan dalam puisi, juga mempunyai tugas yang lebih penting lagi, yaitu untuk memperdalam ucapan, menimbulkan rasa, dan menimbulkan bayangan angan yang jelas, menimbulkan suasana yang khusus, dan sebagainya. Karena pentingnya peranan bunyi ini dalam kesusastraan, maka bunyi ini pernah menjadi unsur kepuitisan yang utama  dalam sastra romantic. Yang timbul sekitar abad ke-18, 19 di Eropa Barat.Lebih-lebih lagi aliran simbolisme yang dipelopori oleh Charles Bauldelaire (1844-1867). Para peyair romantic dan simbolis ingin menciptakan puisi yang mendekati musik: merdu bunyinya dan berirama kuat (Pradopo, 2007:22).
Menurut Slamet Muljana (dalam Pradopo, 2007:23) dalam puisi simbol tiap kata itu menimbulkan asosiasi dan menciptakan tanggapan di luar arti yang sebenarnya. Hal ini dapat diusahakan dengan gaya bahasa. Jalannya ialah dengan mengarahkan puisi sedekat-dekatnya kepada rasa saja.Apa pun yang dapat ditangkap panca indera ini hanyalah lambang atau bayangan kenyataan yang sebenarnya. Kenyataan yang sebenarnya ini tidak dapat ditangkap panca indera.Barang-barang ini hanya dapat memberi saran kepada kita tentang kenyataan yang sebenarnya.
Dalam puisi bunyi dipergunakan sebagai oskestrasi, ialah untuk menimbulkan bunyi musik.Bunyi konsonan dan vokal disusun begitu rupa sehingga menimbulkan bunyi yang merdu dan berirama seperti bunyi musik.Dari bunyi musik inilah mengalir perasaan-perasaan, imaji-imaji dalam pikiran atau pengalaman jiwa pendengarnya.Kombinasi-kombinasi yang merdu itu biasanya disebut efoni (bunyi yang indah).


Kombinasi bunyi vokal  (asonansi) :a, i, u, e, o bunyi konsonan bersuara (Voiced):b, d, g, j, bunyi liquida: r, l, dan bunyi sengau : m, n, ng, ny menimbulkan bunyi dan irama efoni. Bunyi yang merdu itu mendukung suasana yang mesra, kasih sayang, gembira, dan bahagia
Sebaliknya, kombinasi bunyi yang tidak merdu, parau, penuh bunyi k, p, t, s, ini disebut kakofoni, kakofoni ini cocok dan dapat untuk memperkuat suasana yang tidak menyenangkan dan tidak teratur (Pradopo, 2007:29).
                                                                                    
2.5 Estetika Diksi
     Setiap penyair ingin mencurahkan semua apa yang ada dalam pikiran dan benak, mengekspresikan dengan kata-kata, namun terkadang penyair terlambat dalam menentukan kata, nama yang lebih pantas, dan mana yang layak. Pemilihan kata dalam sebuah karya sastra inilah yang biasa disebut diksi.Barfield (dalam Pradopo, 2007:34) mengemukakan bahwa bila kata-kata disusun dengan cara yng sedemikian rupa hingga artinya menimbulkan imaginasi estetik, maka hasilnya itu disebut diksi puitis. Jadi, diksi itu mendapatkan kepuitisan, untuk mendapatkan nilai estetik.
     Penyair ingin mengekspresikan pengalaman jiwanya secara padat dan intens. Untuk hal ini ia memilih kata yang setepat-tepatnya yang dapat menginterpretasi  pengalaman jiwanya. Untuk mendapatkan kepadatan dan intensitas serta supaya selaras dengan sarana komunikasi puisi yang lain, maka penyair memilih kata secermat-cermatnya.
     Penyair mempertimbangkan perbedaan arti sekecil-kecilnya dengan sangat cermat. Butuh kerja intelektual yang intensuntuk mengungkap dibalik  simbol-simbol yang tertuang dalam puisi, seperti seorang para ahli naskah kuno memecahkan kode-kode bahasa yang dikenalnya (Werren dan Wellek, 1990:241). Pemakain kata mencakup dua masalah pokok, yakni pertama, masalah ketepatan memiliki kata untuk mengungkapkan sebuah gagasan atau ide.Kedua, masalah kesesuaian atau kecocokan dalam mempergunakan kata tersebut.

     Ketepatan pilihan kata mempersoalkan kesanggupan sebuah kata untuk menimbulkan gagasan-gagasan yang tepat pada imajinasi pembaca atau pendengar, seperti apa yang dipikirkan atau dirasakan oleh penulis atau pembaca. Untuk ketepatan pemilihan kata seringkali penyair menggantikan kata yang dipergunakan berkali-kali, yang dirasa belum tepat, bahkan meskipun sajaknya telah dimuat diberbagai media, sering masih diubah kata-katanya untuk ketepatan dan kepadatannya.Bahkan ada baris atau kalimat yang diubah susunannya atau dihilangkan.


BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Estetika Simbol Bunyi
            Dalam puisi bunyi bersifat estetik, merupakan unsur puisi untuk mendapatkan keindahan dan tenaga ekspresif.Bunyi ini erat hubungannya dengan anasir-anasir musik, misalnya lagu, melodi, irama, dan sebagainya.Bunyi disamping sebagai hiasan dalam puisi, juga mempunyai tugas yang lebih penting lagi, yaitu untuk memperdalam ucapan, menimbulkan rasa, dan menimbulkan bayangan angan yang jelas, menimbulkan suasana yang khusus, dan sebagainya.Karena pentingnya peranan bunyi ini dalam kesusastraan, maka bunyi ini pernah menjadi unsur kepuitisan yang utama dalam sastra romantik, yang timbul sekitar abad ke-18, 19 di Eropa Barat. Lebih-lebih lagi aliran simbolisme yang dipelopori oleh Charles  Bauldelaire (1844-1867). Para penyair romantik dan simbolis ingin menciptakan puisi yang mendekati musik merdu bunyinya dan berirama kuat (Pradopo, 2007:22).
            Bunyi dibentuk oleh rima dan irama. Rima (persajakan) adalah bunyi-bunyi yang ditimbulkan oleh huruf atau kata-kata dalam larik dan bait atau persamaam bunyi dalam puisi. Sedangkan irama (ritme) adalah pergantian tinggi rendah, panjang pendek, dan keras lembut ucapan bunyi.Timbulnya irama disebabkan oleh perulangan bunyi secara berturut-turut dan bervariasi (misalnya karena adanya rima, perulangan kata, perulangan bait), tekanan-tekanan kata yang bergantian keras lemahnya (karena sifat-sifat konsonan dan vokal), atau panjang pendek kata.
Dari sini dapat dipahami bahwa rima adalah salah satu unsur pembentuk irama, namun irama tidak hanya dibentuk oleh rima.Baik rima maupun irama inilah yang menciptakan efek musikalisasi pada puisi, yang membuat puisi menjadi indah dan enak didengar meskipun tanpa dilagukan.

3.1.1 Ragam Bunyi Cacophony
Bunyi cacophony ini disebut juga bunyi tidak merdu, parau, dan secara visual ragam bunyi ini banyak memakai konsonan /b/, /p/, /m/, /k/, /h/, /p/, /t/, /s/, /r/, /ng/, /ny/.Bunyi cachophony dapat dipakai untuk menciptakan suasana-suasana ketertekanan, keterasingan, kesedihan, syahdu, suram, haru, pilu, dan tidak teratur.Contoh Bunyi cacophony pada suasana-suasana “suram” tersebut sangat tampak dalam  puisi yang diteliti dalam antologi puisi Suara Waktu karya Bangkit Prayogo antara lain ada di data (1) di bawah ini.

Dunia yang Terluka
                        Jalan yanghilang dari sebuahpenderitaan
                        Dan hening adalah arahserta pencarian
yangtertunda
                        Manusia terlalu setia pada dirinya
(DYT-BP/D1/B1/15)

            Berdasarkan puisi di atas menunjukkan suasana suram yang tampak seperti pada kalimat Jalan yang hilang dari sebuah penderitaan.Maksud dari kutipan ini ialah jalan yang hilang dari sebuah kesengsaraan dan keadaan yang sunyi adalah arah serta pencarian yang tertunda.Kini manusia tidak lagi memperdulikan keadaan di sekitarnya yang saat ini sedang terpuruk dalam kesengsaraan, dia hanya sibuk pada dirinya sendiri.Kombinasi banyak memakai konsonan r dan t seperti yang sudah digaris bawahi pada kutipan di atas.Akhiran yang tidak teratur menimbulkan bunyi yang tidak merdu.

(2)       Dunia yangterluka
                        Sebuah airmata, dari perubahan
                        Manusia telahmati, menjadi api
                        (DYT-BP/D1/B2/15)
           
Berdasarkan puisi di atas menggambarkan alam semesta yang menderita dengan keadaan kecewa, dia menangis karena manusia tak peduli lagi akan dirinya yang terbakar. Kombinasi banyak memakai konsonan r, t, seperti yang sudah digaris bawahi pada kutipan di atas.Akhiran yang tidak teratur menimbulkan bunyi yang tidak merdu.

(3)       Dari batas itu, janganlah lupa
                        Semua adalahbentuksetia
                        (DYT-BP-D1/B3/15)                                  

Berdasarkan puisi di atas menggambarkan alam semesta dari keterbatasannya yang saat ini dalam keadaan yang terluka ingin menyampaikan agar jangan sampai melupakan bahwa semua itu adalah bentuk kesatuan.Kombinasi memakai konsonan h dan s seperti yang sudah digaris bawahi pada kutipan di atas.

(4)       Dan tak ada yang abadi
                        Sebelumsemua musnah
                        Menjejaki mimpi
                        (DYT-BP-D1/B3/15)

            Berdasarkan puisi di atas menggambarkan bahwa semuanya tak ada yang kekal, sebelum semuanya lenyap jejak orang.Dalam puisi di atas penggunaan kombinasi-kombinasi bunyi yang banyak bermunculan.Kombinasi-kombinasi bunyi konsonan b, m dan s seperti yang sudah digaris bawahi pada kutipan di atas.
Contoh lain Bunyi cacophony pada suasana-suasana “haru” tersebut sangat tampak dalam puisi yang diteliti dalam antologi puisi Suara Waktu karya Hayyul Mubarok antara lain ada di data (5) di bawah ini.
Selamat Jalan Sobat
            Angin engkau redup, sunyi mencekaphati,
suaraTuhan memelukmu. Engkau merasa pilu,
ketika daun-daun melayu:
Tanda-tanda kebesaran Tuhan.
(SJS-HM/D1/B1/71)

            Puisi di atas menggambarkan kerinduan seseorang terhadap sahabatnya yang telah kembali kepada sang pencipta. Perjalanan pun telah brakhir.Kombinasi banyak memakai konsonan m, p, t dan ng seperti yang sudah digaris bawahi pada kutipan di atas.Akhiran yang tidak teratur menimbulkan bunyi yang tidak merdu.
(6)       Berakhirsemua tawa-tawa, canda-candamu dengan
Sebungkus nasi dan tehtawar, beserta es jeruk
yang engkau pesan, kini tinggal kenangan
(SJS-HM/D1/B3/71)

            Semua canda tawanya telah tiada terdapat pada diksi ‘berakhir’ yang melambangkan bahwa itu sudah selesai.Sebungkus nasi dan teh serta jeruk yang biasa mereka pesan berdua kini tinggal kenangan.Mereka sudah tidak bisa melakukannya lagi bersama-sama seperti dahulu.Kombinasi banyak memakai konsonan b, k, m dan ng seperti yang sudah digaris bawahi pada kutipan di atas.
3.1.2 Ragam Bunyi Euphony
Bunyi euphony dipakai untuk menghadirkan suasana keriangan, kasih sayang, semangat, gerak, vitalitas hidup, kegembiraan, keberanian dan sebagainya.Secara visual ragam euphony didominasi dengan penggunaan bunyi-bunyi vocal.Efoni disebut juga bunyi yang indah dan biasanya untuk menggambarkan perasaan cinta atau hal-hal yang menggambarkan kesenangan lainnya. Efoni juga berupa kombinasi bunyi-bunyi vokal (asonansi) a, e, i, u, o dengan bunyi-bunyi konsonan bersuara (voiced) seperti b, d, g, j, bunyi liquida seperti r dan l, serta bunyi sengau seperti m, n, ny, dan ng. Contoh Bunyi euphonypada suasana-suasana “keriangan” yang tampak dalam puisi yang diteliti dalam antologi puisi Suara Waktu karya Bangkit Prayogo antara lain ada di data (7) di bawah ini.

Ibu dan Anaknya di Dekat Bus Kota
                        Ibu dan anaknya makan dengan riang
                        Padahal ada dua bungkus lalat di sebelahnya

                        Jari-jari menari, riang dan lahap
                        Tanpaada kesedihan, memulai dari cantiknya
                        (IADBK-BP/D1/B1/19)                 

            Berdasarkan puisi di atas menggambarkan seorang ibu dengan anaknya yang makan dengan riangnya tanpa mempedulikan bahwa di sekitarnya masih ada orang lain yang kelaparan sedang melihatnya, mereka tetap saja makan dengan bahagianya dan melahap makanan tersebut. Dalam puisi di atas penggunaan kombinasi-kombinasi bunyi yang sering digunakan yaitu vokal a, i, u, dan e seperti yang sudah digaris bawahi pada kutipan puisi di atas.
Contoh Bunyi euphonypada suasana-suasana “semangat” yang tampak dalam  puisi yang diteliti dalam antologi puisi Suara Waktu karya Hayyul Mubarok antara lain ada di data (8) di bawah ini.
Asa
Kini kita saling bercinta, tanpa ragu-ragu
                        Menambang asa, kita hidup bersama sampai
                        Ajal menjemput kita.
                        Kitaukir janji dengan doa suci, dengan                                                               Bahagia kita selalu berjumpa
                        Akankah semua itu tercipta?
                        (A-HM/D1/B1/61)

            Puisi di atas menggambarkan kisah cinta dua sejoli yang tanpa ragunya mempunyai angan-angan untuk hidup bersama selamanya.Mereka juga mempunyai rencana dan harapan untuk menikah.Dalam puisi di atas penggunaan kombinasi-kombinasi bunyi yang sering digunakan yaitu vokal a, i, u, e dan o seperti yang sudah digaris bawahi pada kutipan puisi di atas.

            (9)       Duri-duri begitu banyak, ia tak mau beranjak,
                        Ia menunggu kita, agar kita tak bersama,
                        Apakah kita diam saja, sedangkan doa
sudah tercipta
(A-HM/D1/B2/61)

            Dengan tekad yang kuat mereka berjanji untuk bersama selamanya meski banyak masalah dan cobaan dalam hubungan mereka. Cobaan itu tak lain adalah orang sekitar yang menginginkan mereka berpisah, namun mereka tak putus asa dengan itu semua karena janji untuk bersama selamanya sudah terucap. Dalam puisi di atas penggunaan kombinasi-kombinasi bunyi yang sering digunakan yaitu vokal a, i, u, dan e seperti yang sudah digaris bawahi pada kutipan puisi di atas.

(10)     “Marilah dengan selembar keyakinan, kita
Cipta sebuah menara, kita kibarkan sebuah
Bendera, diatasnya kitaakan bahagia
(A-HM/D1/B3/61)

            Dengan semangat yang teguh mereka berkeyakinan ingin membangun sebuah bahterai rumah tangga dan disitulah mereka akan bahagia. Ide percintaan yang ditulis penyair tersebut secara semiotika sesuai dengan pilihan-pilihan kata yang menimbulkan suasana yang memberi semangat bagi pembaca dalam mengatasi masalah hubungan percintaan.

3.2 Estetika Simbol Diksi
Setiap penyair ingin mencurahkan semua apa yang ada dalam pikiran dan benak, mengekspresikan dalam kata-kata, namun terkadang penyair terhambat dalam menentukan kata, mana yang lebih pantas, dan yang lebih layak. Pemilihan kata dalam sebuah karya sastra inilah yang biasa disebut diksi. Barfield (dalam Pradopo, 2007:34) mengemukakan bahwa bila kata-kata disusun dengan cara yang sedemikian rupa hingga artinya menimbulkan imaginasi estetik, maka hasilnya itu disebut diksi puitis.Jadi, diksi itu untuk mendapatkan kepuitisan, untuk mendapatkan nilai estetik. Pemilihan kata yang tepat serta dengan memperhatikan unsur-unsur kepuitisan seperti sarana retorika, bunyi dan bahasa kiasan akan menimbulkan nilai ekspresif yang koheren.
            Penyair ingin mengekspresikan pengalaman jiwanya secara padat dan intens. Untuk hal ini ia memilih kata yang setepat-tepatnya yang dapat menginterpretasi pengalaman jiwanya. Untuk mendapatkan kepadatan dan intensitas serta supaya selaras dengan sarana komunikasi puisi yang lain, maka penyair memilih kata secermat-cermatnya.
            Penyair mempertimbangkan perbedaan arti sekecil-kecilnya dengan sangat cermat. Butuh kerja intelektual yang intensuntuk mengungkap dibalik  simbol-simbol yang tertuang dalam puisi, seperti seorang para ahli naskah kuno memecahkan kode-kode bahasa yang dikenalnya (Werren dan Wellek, 1990:241). Pemakain kata mencakup dua masalah pokok, yakni pertama, masalah ketepatan memiliki kata untuk mengungkapkan sebuah gagasan atau ide.
Kedua, masalah kesesuaian atau kecocokan dalam mempergunakan kata tersebut. Ketepatan pilihan kata mempersoalkan kesanggupan sebuah kata untuk menimbulkan gagasan-gagasan yang tepat pada imajinasi pembaca atau pendengar, seperti apa yang dipikirkan atau dirasakan oleh penulis atau pembaca. Untuk ketepatan pemilihan kata seringkali penyair menggantikan kata yang dipergunakan berkali-kali, yang dirasa belum tepat, bahkan meskipun sajaknya telah dimuat diberbagai media, sering masih diubah kata-katanya untuk ketepatan dan kepadatannya.Bahkan ada baris atau kalimat yang diubah susunannya atau dihilangkan. Seperti halnya yang tampak dalam puisi yang diteliti dalam antologi puisi Suara Waktu karya Bangkit Prayogo antara lain ada di data (11) di bawah ini.

Pahlawan itu Hilang
Selalu kudengar, pahlawan adalah sebiji manusia besi
Dan selalu dipuji puji untuk dihormati
Selalu kudengar pula, pahlawan itu adalahsejati
Yang bertepuk dada sampai darah mengucur
Dari hatinya
(PH-BP/D2/B1/2)

Berdasarkan puisi di atas menggambarkan seorang yang mengagumi sosok pahlawan kuat dan tangguh yang ditegaskan pada pemilihan kata “sebiji manusia besi”.Sedangkan diksi “sejati” yang melambangkan pahlawan yang sebenarnya.Ia mendengar pahlawan yang sebenarnya yaitu pahlawan yang tak pernah menyerah hingga apapun yang terjadi sampai titik darah penghabisan ditegaskan pada pemilihan kata “darah mengucur”.
(12)     Tapi, yang kulihat adalah sebaliknya
Pahlawan ini menukar jas untuk sebatang emas
Apalagi pahlawan ini berbaju emas, yang selalu
Ada di atas ari-ari
(PH-BP/D2/B2/2)

            Namun kini ia melihat pahlawan itu sudah tidak sejati dalam artian bukan pahlawan yang sebenarnya. Dalam kutipan “menukar jas untuk sebatang emas” melambangkan seorang pahlawan yang rela menukar harga dirinya, rela menukar kehormatanya untuk mendapat jabatan yang lebih tinggi, apalagi pahlawan itu mempunyai banyak uang dan ia berada di atas orang-orang yang miskin yang ditegaskan pada pemilihan kata “di atas ari-ari”.

(13)     Kesabaranku hilang, kuhampiri pahlawan ini
Kusapa, dan kusiram dengan ucapan. Dia diam:

“Entahlah aku heran melihat pahlawan sepertimu”
(PH-BP/D2/B4/2)

Kesabaranya kini hilang ia sudah tidak bisa menahan kelakuan pahlawan itu yang sudah salah jalan, ia berusaha memberi nasihat dengan kata-kata.  Namun pahlawan itu tidak mempedulikannya terdapat dalam kutipan “kusiram dengan ucapan” dan  diapun tetap pergi tanpa harga diri.
(14)     Pahlawan itu tetap berlari tanpa busana
Pahlawan itu hilang!
                        (PH-BP/D2/B4/2)

            Pahlawan dari masa lalu itu pun kehilangan jati dirinya ditegaskan pada pemilihan kata “pahlawan itu hilang”.Kekonkretan puisi di atas tampak dalam penggunaan kosa kata yang tidak mudah dicerna dan juga jarang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Kata-kata seperti: sebiji manusia besi, menukar jas untuk sebatang emas, di atas ari-ari adalah kata-kata yang jarang diucapkan dalam sehari-hari. Namun kata berbaju emas dan sebiji manusia besi termasuk ke kata-kata yang mudah dicerna.

(15)                 Rinduku Padamu
            Andaikan aku boleh berkata
            Aku hanya ingin berkata, aku ingin
                        Kau di sini, Memberi kasih sayang
                        Memberi suapan, dan memberi ketulusan
                        (RP-BP/D2/B1/11)

Berdasarkan puisi di atas, merupakan puisi monolog. Si aku ingin berkata bahwasannya dia mengiginkan ibunya berada di sisinya memberikan kasih sayang dan ketulusan tercermin secara nyata dan visual dalam larik : memberi kasih sayang, memberi suapan, dan memberi ketulusan.

(16)     Andaikan aku boleh berkata
                        Aku hanya ingin kau di sini
                        Melewati masa tuamu dan
menjaga keadaan
(RP-BP/D2/B2/11)
           
            Si aku menginginkan agar ibunya melewati masa tuanya dengan tidak melakukan apa-apa dan hanya menjaga diri yang ditegaskan pada pemilihan kata “melewati masa tuamu, dan menjaga keadaan”.

(17)     Andaikan aku boleh berkata
Hidup dan situasi adalah dua hal
Yang selalu kau bebankan
Aku rindu kasih sayangmu
Rindu, dengan harapan
(RP-BP/D2/B3/11)

Si aku selalu ingin mengatakan bahwa ia terbebani dengan situasi yang seperti ini terdapat pada diksi “selalu kau bebankan”. Si aku benar-benar merindukan ibunya, rindu belaian, kasih sayangnya dan rindu kebersamaan dengan penuh harapan. Dalam bait ini kesederhanaa kata-kata sering digunakan seperti: andaikan aku boleh berkata, ini menunjukkan bahwa dia benar-benar menginginkan ibunya berada di sisinya di sisa umurnya yang sudah tua itu. Si aku sangat merindukan kasih sayang dari ibunya yang sudah lama tidak dia dapatkan dengan harapan agar bisa terwujud semua keinginannya itu.Kekonkretan puisi di atas tampak dalam penggunaan kosa kata yang mudah dicerna dan juga sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
           
(18)                 Anak Rantau
                        Takdir menepi di pelabuhan selatan
                        Di utara ada kepingan tangis
                        Tersapu purnama.Gugur  
                        (AR-FS/D2/B1/24)

Berdasarkan puisi di atas menggambarkan tentang seseorang anak lelaki yang pergi bekerja jauh merantau, sedangkan di seberang sana ada tangisan yang tak ada hentinya ditegaskan pada pemilihan kata “tersapu purnama”.

            (19)     Kalau ada kupu-kupu merah pulang
                        Ke rumah, kutitip salam padamawar
                        Termakan waktu
                        (AR-FS/D2/B2/24)

Dia berharap jika ada temannya yang pulang kampung dia ingin sekali menitipkan salam kepada gadis pujaan hatinya yang lama tak berjumpa di tegaskan pada pemilihan kata “mawar” yang melambangkan wanita.

            (20)    Perantauan sepi memikul rindu
                        Bulan rapuh. Tak terbaca bibir bocah
                        Sampai di ujung fajar, pelabuhan selatan
                        (AR-FS/D2/B3/24)

            Di tempat pekerjaan itu ia merasa kesepian menahan rindu  yang tak kunjung usai sampai bulanpun selesai hingga tahun berikutnya. Kekonkretan puisi di atas tampak dalam penggunaan kosa kata yang mudah dicerna dan sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari,  kata-kata perbendaharaan dasar hingga menjadi abadi, dalam arti dapat dipahami sepanjang masa, tidak hilang atau menjadi kabur maknanya. Kata-kata tersapu purnama, dan mawar adalah kata-kata yang sering diucapkan dalam sehari-hari.

(21)                 Tentang Gadis Kecil
                        Gadis kecil pakaian angin
                        Jiwanya berbaring di bawah langit                                                                    Menatap purnama serpihan surga
                        (TGK-FS/D2/B1/29)

Berdasarkan puisi di atas menggambarkan seorang anak kecil yang sedang menikmati angin malam berbaring dan menatap indahnya purnama, ia berangan-angan seseorang yang telah meninggalkannya sudah tenang di alam surga ditegaskan pada pemilihan kata “serpihan surga”.

(22)     Dari matanya, ia bermimpi:
            Melihat istana dan para malaikat
                        Menari membacakannya dongeng
                        (TGK-FS/D2/B2/29)

            Si gadis kecil membayangkan lagi bersama ibunya berada di surga dengan dikelilingi para malaikat yang sambil membacakan dongeng untuk mereka.

            (23)     Di hatinya, ia ingin terus di sana
                        Menikmati belai angin musim dingin
                        Menjadi ratu dengan siraman rembulan
                        (TGS-FS/D2/B3/29)

            Gadis kecil tadi berandai-andai bahwa ibunya bersamanya menemaninya, ia ingin menghabiskan hari-harinya bersama sang ibu di malam hari di bawah sinar rembulan menikmati angin di musim dingin terdapat pada diksi “belai angin”.

            (24)     Tapi seketika badai menyapa:
                       
                        Wajahnya kemilau bintang sunyi                                                                        Suaranya lantunan sungai pekat
                        Langkahnya dingin tiupan hujan
                        Matanya berkabut dengan malam
                        (TGS-FS/D2/B4/29)

            Tapi ia tiba-tiba tersadar dari lamunannya itu bahwa kenyataannya ibunya sudah tidak bisa bersamanya lagi ditegaskan pada pemilihan kata “seketika badai menyapa”. Dan gadis itu tiba-tiba terdiam, ia tidak bisa berkata-kata karena takdir berbicara lain. Ia kini pasrah dengan kenyataan.    

            (25)     Tak ada yang ingin ia dengarkan
                        Selain bisikan ibu dalam pinjaman
waktu
(TGS-FS/D2/B5/29)

            Si gadis kecil sangat sedih melihat kenyataan, bahwa jauh dilubuk hatinya dia selalu berharap bisa bersama dengan ibunya bisa memeluknya, dan ia juga ingin mendengarkan suara ibunya itu. 

            (26)     “Nak, ketika kau memiliki waktu
                        Untuk tersenyum dan pura-pura
menangis, bersyukurlah, harimu
yang panjang selalu dirindukan
ketika tak ada lagi, dan tutuplah
tidurmu dengan doa.”
(TGS-FS/D2/B6/29)

            Di dalam kutipan di atas sang ibu berpesan kepada si gadis kecil supaya dia menjadi anak yang tegar, tabah, sabar dalam menghadapi cobaan di dalam hidupnya dan agar ia menjadi anak yang bermanfaat. Karena jika ia menjadi anak yang tabah, tegar dan sabar maka kelak di saat ia tiada maka akan banyak orang yang menangisinya dan tak mau melepas kepergiannya karena rindu akan sesosok gadis kecil yang bermanfaat dan disayangi banyak orang terdapat pada diksi “harimu yang panjang selalu dirindukan”.       




(27)                 Bangkai Kotaku
                        Kota bersinar dari emas
                        Jauh berbeda dari kepolosan
                        Ada yang lebih dari yang terlihat
                        Tataplah ke dalam air, kotakegelapan
                        (AR-FS/D2/B1/30)
                                           
Berdasarkan puisi di atas menggambarkan kota mentropolitan, kota besar yang jauh dari ketentraman dan kedamaian. Memang kota itu kota besar kota yang serba ada namun semakin di lihat ke dalam maka kehancuranlah yang terlihat terdapat pada pemilihan kata “kegelapan”.

            (28)    Kota ini tempat hunian iblis
                        Tempat bagi semua jiwa tak bersih
                        Semua burung kotor memaksa minum
                        Anggur beracun berzina dengan raja-raja
                        (AR-FS/D2/B3/30)           

Kota yang besar dan serba ada ini malah dirusak oleh orang-orang yang berpenghuni di kota itu. Kini kota itu sudah menjadi tempat yang menghantui orang-orang sekitar berbuat kotor dengan mabuk-mabukan dan berzina dengan orang-orang yang berpangkat tinggi ditegaskan pada pemilihan kata “berzina dengan raja-raja”.
Kekonkretan puisi di atas tampak dalam penggunaan koa kata yang mudah dicerna dan sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Kata-kata kegelapan, hunian iblis, jiwa tak bersih , anggur beracun adalah kata-kata yang sering diucapkan dalam sehari-hari.

(29)                 Rentetan Padi
            Kupandangi fajar menghadap kiblat,
                        Bersama angin yang berderu
                        Kulihat rentetan padi yang menangis
                        Saat tanah yang bengkak,
                        Akar-akarnya yang pekak
                        (RP-HM/D2/B1/65)

Berdasarkan puisi di atas menggambarkan sawah dengan hamparan padi yang luas di tegaskan pada pemilihan kata “rentetan”namun padi itu kekurangan air yang ditegaskan pada pemilihan kata “bengkak”.Sang pemilik padi tidak mempedulikan keadaan padinya yang kering kekurangan air di tegaskan pada pemilihan kata “pekak”.
(30)    Padi sepuh, kau rapuh, kau haus,
            Kau hangus, sebab majikanmu
                        Yang rakus
                        Padi yang sepuh, kau binasa
                        Kau pasti bisa, sebab kau tak berdosa
                        (RP-HM/D2/B2/65)

            Keadaan padi itu kini sudah tua, rapuh dan kering sebab pemiliknya yang rakus tak bisa merawat padinya dengan baik walaupun butuh siraman air untuk menyegarkan hidupnya dan butuh ketulusan untuk dirawat, tapi sang pemilik tak mempedulikan itu dia malah hanya memikirkan hasilnya saja tanpa mendengar jeritan padinya yang haus akan siraman air.
            Kekonkretan puisi di atas tampak dalam penggunaan koa kata yang mudah dicerna dan sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari, kata-kata perbendaharaan dasar hingga menjadi abadi, dalam arti dapat dipahami sepanjang masa, tidak hilang atau menjadi kabur maknanya.Kata-kata rentetan, bengkak, pekak adalah kata-kata yang sering diucapkan dalam sehari-hari.

(31)                             Badung
                        Belum lagi malam, caur Jakartamu
                        Unggasku belum juga pulang
                        Aku juga unggas yang belum mengerti
arti kepulangan hanya melongok jika
kubayangkan Kota bergedung, kampung
melebarkan parit-parit untuk jalanan air pipis 
Masih larut ia mengaji tawa pinggir jalan
Tanpa lagi kerudung sebagai tempat berlindung
                        (B-JS/D2/B1/87)

            Berdasarkan Puisi di atas menggambarkan wanita nakal yang tinggal di  Jakarta, selain itu ada wanita lain yang sama-sama tersesat di dalam lembah hitam. Mereka di Jakarta bekerja sebagai wanita malam ditegaskan pada pemilihan kata “unggas” yang berarti wanita yang bekerja di malam hari yang tidak melihat situasi yang ada mereka hanya melihat ke sana dan kemari mencari mangsa. Tempat dengan bangunan-bangunan yang bertingkat, meski larut malam ia tetap bekerja menjajakan dirinya di pinggir jalan tanpa adanyanya kehormatan dan iman sebagai pelindung.


BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN

4.1 Simpulan
            Berdasarkan rumusan masalah dalam antologi puisi  Suara Waktu maka peneliti memberi kesimpulan sebagai berikut.
a)       Secara semiotika, bunyi dalam puisi sangat berpengaruh terhadap pencitraan dan penggambaran suasana dalam puisi. Suara merdu (efoni) menimbulkan keriangan, semangat, gerak, vitalitas hidup, kegembiraan, keberanian dan sebagainya. Sedang sebaliknya bunyi parau (kakafoni) menggambarkan suasana  ketertekanan, keterasingan, kesedihan, syahdu, suram, haru, pilu, dan sebagainya.
b)       Secara lapangan semiotika, diksi memiliki peran sentral untuk menentukan sebuah makna. Diksi berpengaruh besar akan terciptanya sarana kepuitisan seperti: metafora, personifikasi, retorika puisi serta keselarasan bunyi yang indah (orkestrasi). Selain itu secara struktur puisi juga memiliki pengaruh besar terhadap penafsiran.

4.2 Saran
            Demi kemajuan penelitian selanjutnya, peneliti akan memberikan saran atau masukan kepada beberapa pihak yang berhubungan dengan kajian yang terdapat dalam penelitian ini. Berikut saran dan masukannya.
a)       Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan wawasan terhadap siswa, mahasiswa atau akademisi yang akan mengadakan penelitian yang relevan dengan penelitian ini.
b)       Penelitian berikutnya hendaknya dilakukan dengan versi yang berbeda, agar pemahaman tentang estetika simbol dapat disajikan dengan lebih utuh dan komplek.


DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. 2004. Pengantar Apresiasi Sastra. Jakarta: Sinar Baru
Algesindo.

            Darma, Budi. 2007. Bahasa, Sastra dan Budi Darma. Surabaya :
JP Books.

Kumpulan Puisi Bersama. 2014. Suara Waktu. Surabaya. Sahabat
Mandiri.

Pradopo, Rachmat Djoko. 2013. Beberapa Teori Sastra, Metode
Kritik, dan Penerapannya.Yogyakarta:Pustaka Pelajar.

Pradopo, Rachmat Djoko. 2007. Pengkajian Puisi. Yogyakarta:
Gajah Mada Utama Press.

            Ratna, Nyoman Kutha. 2013. Teori, Motode dan Teknik Penelitian
Sastra.Yogyakarta: Pustaka Belajar.

            Sarjono, Agus R. 2001. Sastra dalam Empat Orba.Yogyakarta.
Yayasan Bentang Budaya.

            Werren, Austin dan Wellek, Rene. 1990. Teori Kesusastraan.
Jakarta. PT. Gramedia.