BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menilik
perbandingan dunia sastra, khususnya puisi adalah salah satu bentuk upaya untuk
melestarikan dunia tulis menulis. Puisi sebagai sebuah bentuk pemikiran tidak
terlepas dari aspek yang membagunnya mulai dari struktur hingga sarana-sarana
kepuitisan dikarenakan produk pemikiran sastra tidak terlepas dari berbagai
produk lain, dan dengan sendirinya, tidak terlepas dari kerangka berpikir serta
sikap hidup yang melahirkan berbagai produk pemikiran tersebut (Darma,
2007:95).
Sepanjang zaman puisi selalu mengalami perubahan dan
perkembangan. Hal ini mengigat hakikat puisi sebagai karya
seni yang selalu terjadi ketegangan antara konvensi dan pembaharuan
(inovasi).Puisi selalu berubah-ubah sesuai dengan evolusi selera dan perubahan
konsep estetikanya, hal ini disebabkan karena bentuk-bentuk formal itu merupkan
sarana-sarana kepuitisan saja, bukan hakikat puisi yang berubah-berubah.Penyair
dapat menulis dan mengkombinasikan sarana-sarana kepuitisan yang
disukainya.Sarana kepuitisan yang berupa diksi atau pilihan kata secara tepat
memberikan makna seintensitas mungkin.Riffaterre (dalam Pradopo, 2007:3).
Meskipun
demikian, orang tidak akan memahami puisi secara sepenuhnya tanpa mengetahui
dan menyadari bahwa puisi secara sepenuhnya tanpa mengetahui dan menyadari
bahwa puisi itu karya estetis yang bermakna, yang mempunyai arti, bukan hanya
sesuatu yang kosong tanpa makna. Oleh karena itu, sebelum pengkajian
aspek-aspek yang lain, perlu lebih dahulu puisi dikaji sebagai struktur yang
bermakna dan bernilai estetis.Di samping itu, karena puisi itu merupakan
struktur tanda-tanda yang bermakna dan bersistem, maka analisi yang disatukan
dengan analisis semiotik.
Sesungguhnya,untuk
mendapatkan makna puisi yang sepenuhnya,di samping analisis secara struktur dan
semiotika, maka analisis sajak tidak dapat dipisahkan dari kerangka sejarah
sastranya,namun dalam penelitian ini hanya struktur dan semiotika saja yang
akan di analisis secara jelas.
Menurut
Pradopo (2007:120) pendekatan semiotika adalah analisis teks sastra melalui
tanda (lambang) yang mempunyai makna yang mempergunakan medium bahasa.Bahasa
sebagai medium sastra sudah merupakan sistem semiotik atau ketandaan, yaitu
sistem-sistem ketandaan yang mempunyai arti.Medium karya sastra bukanlah bahan
yang bebas (netral) seperti bunyi pada musik atau warna pada
lukisan.Lambang-lambang atau tanda-tanda kebahasaan itu berupa satuan bunyi
yang mempunyai arti oleh koevensi masyarakat. Sistem ketentuan itu yang disebut semiotika.
Pada
dasarnya puisi memiliki teks yang dihadirkan dihadapan pembaca, di dalalamnya
sudah ada potensi komunikatif.Pemilihan potensi komunikatif itu salah satunya
ditandai dengan digunakannya lambing-lambang kebahasaan yang sifatnya artistik
(Aminuddin, 2004:124).Simbol yang memiliki keindahan artistik inilah yang
ditangkap sebagai fenomena dan seterusnya diklasifikasi ke dalam kategori
tertentu sebagai gejala bunyi teks, pemilihan kata, dan struktur kalimat.
Pemahaman fenomina bunyi, diksi simbol, dan struktur kalimat simbol ini dapat
dilakukan dengan menggunakan pendekatan semiotika Michael Riffaterre
1.2 Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian
estetika simbol puisi diantaranya adalah
diksi, gaya bahasa, bunyi, kata, denotasi, konotasi, citraan, sarana retorika,
struktur kalimat, metafora, personifikasi, allegori, dan kosakata dalam
antologi puisi Suara Waktu Lotmann (dalam Ratna, 2013:111).
1.3 Batasan Masalah
Agar analisis ini lebih
fokus, maka analisis ini dibatasi pada persoalan estetika simbol bunyi dan
estetika diksi simbol dalam antologi puisi Suara
Waktu.
1.4 Rumusan Masalah
Secara singkat
penelitian ini dirumuskan sebagai berikut.
1.
Bagaimana estetika bunyi dalam
antologi puisiSuara Waktu?
2. Bagaimana
estetika diksi dalam antologi puisiSuara
Waktu?
1.5 Tujuan
Berdasarkan rumusan
masalah yang telah dikemukakan di atas, tujuan penelitian ini adalah sebagai
berikut.
1.
Untuk mendeskripsikan estetika bunyi
dalam antologi puisi Suara Waktu.
2.
Untuk mendeskripsikan estetika
diksi dalam antologi puisiSuara Waktu.
1.6 Manfaat
Ada dua manfaat yang
dapat diambil dalam analisis antologi puisi
Suara Waktu yaitu manfaat teoretis dan manfaat praktis.
Berikut uraian dari masing-masing manfaat tersebut.
1.
Manfaat Teoretis
Secara teoretis,
analisis ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam pengembangan kajian
sastra, khususnya kajian estetika simbol.Dengan demikian analisis ini dapat
membantu mengungkapkan sisi keindahan sebuah puisi dari segi simbol.
2.
Manfaat Praktis
Penelitian ini dapat
memberikan sumbangan khasanah kesusastraan Indonesia, dalam ruang estetika
puisi.Manfaat bagi peneliti lainnya adalah sebagai acuan untuk memperluas
kajian tentang puisi, dan bagi guru untuk bahan ajar dalam kegiatan belajar
mengajar khususnya dalam apresiasi puisi.
Manfaat praktis lainnya
berhubungan dengan pengajaran sastra, yakni hasil penelitian dapat diterapkan
sebagai materi alternatif di dalam mata kuliah, khususnya apresiasi puisi dan
kritik sastra.
BAB
II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian Estetika
Dalam penelitian
estetika simbol dalam antologi puisiSuara
Waktu, peneliti menemukan satu penelitian yang relevan, yakni penelitian
yang dilakukan oleh peneliti.Dalam penelitian diungkap unsur-unsur bunyi liris mantra
dalam beberapa sajak yang menggunakan pendekatan semiotik dengan menggunakan
teori semiotika sastra.
Sedangkan dalam penelitian estetika simbol dalam antologi
puisi Suara Waktu, peneliti mencobamengungkap unsur dan struktur
kepuitisan puisi melalui bentuk bunyi, diksi, dan kalimat yang dianalisi
menggunakan semiotik Michael Riffaterre.
Padanan kata estetika dalam bahasa Indonesia juga dikenal
dengan istilah ‘keindahan’. Sebuah kata yang sangat familier dalam kehidupan
sehari-hari keindahan dapat ditafsirkan bahwa yang sedang dibicarakan itu
mengandung hal-hal kebaikan. Sebaliknya, seorang yang membicarakan antonim dari
keindahan (keburukan) sudah dapat kita terka bahwa yang dibicarakan tersebut
dapat merugikan dirinya dan orang lain.
Secara kebahasaan, keindahan berasal dari bentuk kata
(indah) dan konflik (ke-an). Dari bentukan kata ini dapat ditafsirkan bahwa kata ‘indah’ merupakan
kelompok kata adjektif (sifat) selalu terikat dengan kata-kata yang lain, baik
dengan kelompok kata nomina (benda) ataupun keindahan memiliki arti proses
mempercantik atau memperelok.
Estetika puisi pada hakikatnya mempunyai sisi naratif
yang elegan.Puisi membentuk sebuah cerita sosial, sejarah, dan budayanya
masing-masing.Membuka intrik yang dilakukan masyarakat kekinian untuk
selanjutnya dijadikan fenomena baru dalam dunia sastra, khususnya puisi.Setiap
simbol puisi memiliki kamuflase yang rapat, dan cenderung sembunyi-sembunyi.
Namun semuanya akan
kembali pada bentuk semula bahwa puisi adalah estetika yang kerap menimbulkan
seni artistik tinggi. Efek estetik karya sastra sebagai keseluruhan, begitu
juga konkretisasinya, tunduk kepada perubahan yang terus menerus. Kekuatan
sebuah karya sastra tergantung pada kualitas yang dikandung secara potensial
karya itu dalam perkembangan norma sastra. Jika karya sastra dinilai positif,
maka bila norma berubah, itu berarti bahwa karya tersebut mempunyai jangka
hidup yang lebih panjang daripada sebuah karya yang efektivitas estetikanya
habis dengan lenyapnya norma sastra pada masanya (Vodicka, 1964:79).
Nilai estetis selain
terdiri dari keindahan sebagai nilai yang positif kini dianggap pula meliputi
nilai yang negatif.Hal yang menunjukkan nilai negatif itu ialah kejelekan (ugliness).Kejelekan
tidaklah berarti kosongnya atau kurangnya ciri-ciri yang membuat sesuatu benda
disebut indah, melainkan menunjuk pada ciri-ciri yang ternyata bertentangan
sepenuhnya dengan keindahan tersebut.Karena itu, kini keindahan dan kejelekan
sebagai nilai estetis yang positif dan yang negatif menjadi sasaran penelaahan
dari estetik filsafati. Dan nilai estetis pada umumnya kini diartikan sebagai
kemampuan dari sesuatu benda untuk menimbulkan suatu pengalaman estetis.
Permasalahan yang
muncul kemudian adalah bagaimana seorang pengamat menanggapi atau memahami
sesuatu karya estetika atau karya sastra.Seseorang tidak lagi hanya membahas
sifat-sifat yang merupakan kualitas dari benda estetik, melainkan juga menelaah
kualitas yang terjadi pada karya estetik tersebut, terutama usaha untuk menguraikan
dan menjelaskan secara cermat, dan lengkap dari semua gejala psikologis yang
berhubungan dengan keberadaan karya sastra tersebut (The Liang Gie 1976: 51).
Dikarenakan teori ini sesuai dengan objek penelitian yang
berupa antologi puisi yang didalamnya terdapat beberapa simbol puisi.Adapun
penjelasan lainnya yaitu sebagai berikut.
2.2
Hubungan Estetika Simbol dengan Sastra
Puisi juga merupakan karya seni yang mediumnya sudah bersifat
tanda (simbol) yang mempunyai arti, yaitu bahasa.Tanda kebahasaan itu adalah
bunyi yang dipergunakan sebagai simbol, yaitu tanda hubungan itu ditentukan
konvensi masyarakat (Pradopo, 2007:47).
Puisi adalah salah satu bentuk karya seni sastra yang memiliki
keindahan yang dinamis. Pada hakikatnya
puisi yang paling baik adalah puisi yang memandang kesusastraan sebagai
karya sastra yang di dalam fungsi estetikannya dominan, yaitu fungsi seninya
berkuasa Werren (dalam Pradopo, 2007:215).
Menurut Sarjono (2001:120) puisi merupakan bagian dari fiksi,
puisi pun membangun sebuah dunia baru yang fiksional. Di sana dihidupkan sebuah
dunia dalam kata-kata, yakni dunia mungkin. Dunia yang tidak harus faktual
namun memiliki jembatan bagi segala yang mungkin dalam kenyataan.
Karya sastra merupakan sebuah sistem yang mempunyai konvensi-konensi
sendiri.Dalam sastra ada jenis-jenis sastra (genre)
dan ragam-ragam; jenis sastra prosa dan puisi, prosa mempunyai ragam
cerpen, novel, dan roman (ragam utama).Genre puisi mempunyai ragam puisi lirik,
syair, pantun, sonata, balada, dan sebagainya. Tiap ragam itu merupakan sistem yang mempunyai konvensi-konvensi
sendiri. Dalam menganalisis karya sastra, peneliti harus menganalisis sistem
tanda itu dan menentukan konvensi-konvensi apa yang memungkinkan tanda-tanda
atau struktur tanda-tanda dalam ragam sastra itu mempunyai makna (Pradopo,
2013:122).
Sebagai contohnya, genrepuisi merupakan sistem tanda, yang
mempunyai satuan-satuan tanda (yang minimal) seperti kosakata, bahasa kiasan,
di antaranya: personafikasi, simile, metafora, dan metomini. Tanda-tanda itu
mempunyai makna berdasarkan konvensi-konvensi (dalam) sastra.
Diantara konvensi-konvensi puisi adalah konvensi kebahasaan
bahasa kiasan, sarana retorika, gaya bahasa pada umumnya. Di samping itu, ada
konvensi ambiguitas (makna ganda), kontradiksi, dan nosense. Ada pula konvensi konvensi visual berhubung karya sastra
(puisi) yang ditulis, konvensi visual tersebut diantaranya: bait, baris sajak, enjambement, sajak (rima), tipologi, dan
homolongue.Konvensi kepuitisan visual
sajak tesebut dalam linguistik tidak mempunyai arti, tetapi dalam sastra
mempunyai atau mencipta makna.Tentu saja, masih ada konvensi-konvensi lain yang
menyebabkan karya sastra mempunyai makna (Pradopo, 2013:123).
2.3 Semiotika Sastra
Secara ringkas dan kasar bahwa manusia dibangun atas dasar
bahasa, sedangkan bahasa itu sendiri adalah sistem simbol.Simbol bukanlah kelas
objek, simbol-simbol hadir hanya dalam pikiran penafsir.Tidak ada simbol
kecuali jika diinterpretaskan sebagai simbol. Secara definitif simbol adalah
tentang sesuatu yang lain dari pada dirinya sendiri. Lampu hijau dipersimpangan
jalan tidak dimaksudkan untuk berpikir mengenai warna hijau, melainkan untuk
terus melanjutkan perjalanan.Dalam sebuah teks sastra secara keseluruhan
terdiri atas ciri-ciri tersebut Riffatette (dalam Pradopo, 2007:120).
Menemukan simbol makna dari suatu puisi pertama diperlukan
analisis karya sastra, di sini sajak khususnya sebagai sistem tanda-tanda dan
menentukan konvensi-konvensi apa yang memungkinkan karya sastra mempunyai
makna. Dengan melihat variasi-variasi di dalam struktur sajak antar
unsur-unsurya akan dihasilkan bemacam-macam makna. Riffaterre (dalam Pradopo,
2007:123) mengemukakan satuan konvensi itu misalnya alur, setting, gaya bahasa,
dan bunyi teks. Adapun tambahan konvensi di luar kebahasaan adalah tipologi
sajak, persajakan citraan, estetika, dan konvensi-konvensi yang ada dalam
sastra.
2.4 Estetika Bunyi
Dalam puisi bunyi
bersifat estetik, merupakan unsur puisi untuk mendapatkan keindahan dan tenaga
ekspresif.Bunyi ini erat hubungannya dengan anasir-anasir musik, misalnya lagu,
melodi, irama, dan sebagainya.Bunyi disamping hiasan dalam puisi, juga
mempunyai tugas yang lebih penting lagi, yaitu untuk memperdalam ucapan,
menimbulkan rasa, dan menimbulkan bayangan angan yang jelas, menimbulkan
suasana yang khusus, dan sebagainya. Karena pentingnya peranan bunyi ini dalam
kesusastraan, maka bunyi ini pernah menjadi unsur kepuitisan yang utama dalam sastra romantic. Yang timbul sekitar
abad ke-18, 19 di Eropa Barat.Lebih-lebih lagi aliran simbolisme yang
dipelopori oleh Charles Bauldelaire (1844-1867). Para peyair romantic dan
simbolis ingin menciptakan puisi yang mendekati musik: merdu bunyinya dan
berirama kuat (Pradopo, 2007:22).
Menurut Slamet Muljana
(dalam Pradopo, 2007:23) dalam puisi simbol tiap kata itu menimbulkan asosiasi
dan menciptakan tanggapan di luar arti yang sebenarnya. Hal ini dapat
diusahakan dengan gaya bahasa. Jalannya ialah dengan mengarahkan puisi
sedekat-dekatnya kepada rasa saja.Apa pun yang dapat ditangkap panca indera ini
hanyalah lambang atau bayangan kenyataan yang sebenarnya. Kenyataan yang
sebenarnya ini tidak dapat ditangkap panca indera.Barang-barang ini hanya dapat
memberi saran kepada kita tentang kenyataan yang sebenarnya.
Dalam puisi bunyi
dipergunakan sebagai oskestrasi, ialah untuk menimbulkan bunyi musik.Bunyi
konsonan dan vokal disusun begitu rupa sehingga menimbulkan bunyi yang merdu
dan berirama seperti bunyi musik.Dari bunyi musik inilah mengalir
perasaan-perasaan, imaji-imaji dalam pikiran atau pengalaman jiwa
pendengarnya.Kombinasi-kombinasi yang merdu itu biasanya disebut efoni (bunyi
yang indah).
Kombinasi
bunyi vokal (asonansi) :a, i, u, e, o
bunyi konsonan bersuara (Voiced):b, d, g, j, bunyi liquida: r, l, dan bunyi
sengau : m, n, ng, ny menimbulkan bunyi dan irama efoni. Bunyi yang merdu itu
mendukung suasana yang mesra, kasih sayang, gembira, dan bahagia
Sebaliknya,
kombinasi bunyi yang tidak merdu, parau, penuh bunyi k, p, t, s, ini disebut
kakofoni, kakofoni ini cocok dan dapat untuk memperkuat suasana yang tidak
menyenangkan dan tidak teratur (Pradopo, 2007:29).
2.5 Estetika Diksi
Setiap penyair ingin mencurahkan semua apa yang ada dalam
pikiran dan benak, mengekspresikan dengan kata-kata, namun terkadang penyair
terlambat dalam menentukan kata, nama yang lebih pantas, dan mana yang layak.
Pemilihan kata dalam sebuah karya sastra inilah yang biasa disebut diksi.Barfield (dalam Pradopo, 2007:34)
mengemukakan bahwa bila kata-kata disusun dengan cara yng sedemikian rupa
hingga artinya menimbulkan imaginasi estetik, maka hasilnya itu disebut diksi puitis. Jadi, diksi itu
mendapatkan kepuitisan, untuk mendapatkan nilai estetik.
Penyair ingin mengekspresikan pengalaman jiwanya secara padat
dan intens. Untuk hal ini ia memilih kata yang setepat-tepatnya yang dapat
menginterpretasi pengalaman jiwanya.
Untuk mendapatkan kepadatan dan intensitas serta supaya selaras dengan sarana
komunikasi puisi yang lain, maka penyair memilih kata secermat-cermatnya.
Penyair mempertimbangkan perbedaan arti sekecil-kecilnya dengan
sangat cermat. Butuh kerja intelektual yang intensuntuk
mengungkap dibalik simbol-simbol yang
tertuang dalam puisi, seperti seorang para ahli naskah kuno memecahkan
kode-kode bahasa yang dikenalnya (Werren dan Wellek, 1990:241). Pemakain kata
mencakup dua masalah pokok, yakni
pertama, masalah ketepatan memiliki kata untuk mengungkapkan sebuah gagasan
atau ide.Kedua, masalah kesesuaian
atau kecocokan dalam mempergunakan kata tersebut.
Ketepatan pilihan kata mempersoalkan kesanggupan sebuah kata
untuk menimbulkan gagasan-gagasan yang tepat pada imajinasi pembaca atau
pendengar, seperti apa yang dipikirkan atau dirasakan oleh penulis atau
pembaca. Untuk ketepatan pemilihan kata seringkali penyair menggantikan kata
yang dipergunakan berkali-kali, yang dirasa belum tepat, bahkan meskipun
sajaknya telah dimuat diberbagai media, sering masih diubah kata-katanya untuk
ketepatan dan kepadatannya.Bahkan ada baris atau kalimat yang diubah susunannya
atau dihilangkan.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1
Estetika Simbol Bunyi
Dalam
puisi bunyi bersifat estetik, merupakan unsur puisi untuk mendapatkan keindahan
dan tenaga ekspresif.Bunyi ini erat hubungannya dengan anasir-anasir musik,
misalnya lagu, melodi, irama, dan sebagainya.Bunyi disamping sebagai hiasan
dalam puisi, juga mempunyai tugas yang lebih penting lagi, yaitu untuk
memperdalam ucapan, menimbulkan rasa, dan menimbulkan bayangan angan yang
jelas, menimbulkan suasana yang khusus, dan sebagainya.Karena pentingnya
peranan bunyi ini dalam kesusastraan, maka bunyi ini pernah menjadi unsur
kepuitisan yang utama dalam sastra romantik, yang timbul sekitar abad ke-18, 19
di Eropa Barat. Lebih-lebih lagi aliran simbolisme yang dipelopori oleh
Charles Bauldelaire (1844-1867). Para
penyair romantik dan simbolis ingin menciptakan puisi yang mendekati musik
merdu bunyinya dan berirama kuat (Pradopo, 2007:22).
Bunyi dibentuk oleh rima dan irama. Rima (persajakan)
adalah bunyi-bunyi yang ditimbulkan oleh huruf atau kata-kata dalam larik dan
bait atau persamaam bunyi dalam puisi. Sedangkan irama (ritme) adalah
pergantian tinggi rendah, panjang pendek, dan keras lembut ucapan
bunyi.Timbulnya irama disebabkan oleh perulangan bunyi secara berturut-turut
dan bervariasi (misalnya karena adanya rima, perulangan kata, perulangan bait),
tekanan-tekanan kata yang bergantian keras lemahnya (karena sifat-sifat
konsonan dan vokal), atau panjang pendek kata.
Dari
sini dapat dipahami bahwa rima adalah salah satu unsur pembentuk irama, namun
irama tidak hanya dibentuk oleh rima.Baik rima maupun irama inilah yang
menciptakan efek musikalisasi pada puisi, yang membuat puisi menjadi indah dan
enak didengar meskipun tanpa dilagukan.
3.1.1
Ragam Bunyi Cacophony
Bunyi
cacophony ini disebut juga bunyi tidak merdu, parau, dan secara visual ragam
bunyi ini banyak memakai konsonan /b/, /p/, /m/, /k/, /h/, /p/, /t/, /s/, /r/,
/ng/, /ny/.Bunyi cachophony dapat dipakai untuk menciptakan suasana-suasana
ketertekanan, keterasingan, kesedihan, syahdu, suram, haru, pilu, dan tidak
teratur.Contoh Bunyi cacophony pada suasana-suasana “suram” tersebut sangat
tampak dalam puisi yang diteliti dalam
antologi puisi Suara Waktu karya
Bangkit Prayogo antara lain ada di data (1) di bawah ini.
Dunia
yang Terluka
Jalan yanghilang
dari sebuahpenderitaan
Dan hening
adalah arahserta pencarian
yangtertunda
Manusia terlalu setia
pada dirinya
(DYT-BP/D1/B1/15)
Berdasarkan
puisi di atas menunjukkan suasana suram yang tampak seperti pada kalimat Jalan
yang hilang dari sebuah penderitaan.Maksud dari kutipan ini ialah jalan
yang hilang dari sebuah kesengsaraan dan keadaan yang sunyi adalah arah serta
pencarian yang tertunda.Kini manusia tidak lagi memperdulikan keadaan di
sekitarnya yang saat ini sedang terpuruk dalam kesengsaraan, dia hanya sibuk
pada dirinya sendiri.Kombinasi banyak memakai konsonan r dan t seperti yang
sudah digaris bawahi pada kutipan di atas.Akhiran yang tidak teratur
menimbulkan bunyi yang tidak merdu.
(2) Dunia yangterluka
Sebuah
airmata, dari perubahan
Manusia telahmati,
menjadi api
(DYT-BP/D1/B2/15)
Berdasarkan puisi di
atas menggambarkan alam semesta yang menderita dengan keadaan kecewa, dia
menangis karena manusia tak peduli lagi akan dirinya yang terbakar. Kombinasi
banyak memakai konsonan r, t, seperti yang sudah digaris bawahi pada kutipan di
atas.Akhiran yang tidak teratur menimbulkan bunyi yang tidak merdu.
(3) Dari batas itu,
janganlah lupa
Semua adalahbentuksetia
(DYT-BP-D1/B3/15)
Berdasarkan
puisi di atas menggambarkan alam semesta dari keterbatasannya yang saat ini
dalam keadaan yang terluka ingin menyampaikan agar jangan sampai melupakan
bahwa semua itu adalah bentuk kesatuan.Kombinasi memakai konsonan h dan s
seperti yang sudah digaris bawahi pada kutipan di atas.
(4) Dan tak ada
yang abadi
Sebelumsemua
musnah
Menjejaki mimpi
(DYT-BP-D1/B3/15)
Berdasarkan puisi di atas
menggambarkan bahwa semuanya tak ada yang kekal, sebelum semuanya lenyap jejak
orang.Dalam puisi di atas penggunaan kombinasi-kombinasi bunyi yang banyak bermunculan.Kombinasi-kombinasi
bunyi konsonan b, m dan s seperti yang sudah digaris bawahi pada kutipan di
atas.
Contoh
lain Bunyi cacophony pada suasana-suasana “haru” tersebut sangat tampak dalam
puisi yang diteliti dalam antologi puisi Suara
Waktu karya Hayyul Mubarok antara lain ada di data (5) di bawah ini.
Selamat Jalan Sobat
Angin engkau redup,
sunyi mencekaphati,
suaraTuhan
memelukmu. Engkau merasa pilu,
ketika
daun-daun melayu:
Tanda-tanda
kebesaran Tuhan.
(SJS-HM/D1/B1/71)
Puisi di atas menggambarkan kerinduan seseorang terhadap
sahabatnya yang telah kembali kepada sang pencipta. Perjalanan pun telah
brakhir.Kombinasi banyak memakai konsonan m, p, t dan ng seperti yang sudah
digaris bawahi pada kutipan di atas.Akhiran yang tidak teratur menimbulkan
bunyi yang tidak merdu.
(6) Berakhirsemua
tawa-tawa, canda-candamu dengan
Sebungkus
nasi dan tehtawar, beserta es
jeruk
yang engkau pesan,
kini tinggal kenangan
(SJS-HM/D1/B3/71)
Semua canda tawanya telah tiada terdapat pada diksi
‘berakhir’ yang melambangkan bahwa itu sudah selesai.Sebungkus nasi dan teh
serta jeruk yang biasa mereka pesan berdua kini tinggal kenangan.Mereka sudah
tidak bisa melakukannya lagi bersama-sama seperti dahulu.Kombinasi banyak
memakai konsonan b, k, m dan ng seperti yang sudah digaris bawahi pada kutipan
di atas.
3.1.2
Ragam Bunyi Euphony
Bunyi
euphony dipakai untuk menghadirkan suasana keriangan, kasih sayang, semangat,
gerak, vitalitas hidup, kegembiraan, keberanian dan sebagainya.Secara visual
ragam euphony didominasi dengan penggunaan bunyi-bunyi vocal.Efoni disebut juga
bunyi yang indah dan biasanya untuk menggambarkan perasaan cinta atau hal-hal
yang menggambarkan kesenangan lainnya. Efoni juga berupa kombinasi bunyi-bunyi
vokal (asonansi) a, e, i, u, o dengan bunyi-bunyi konsonan bersuara (voiced)
seperti b, d, g, j, bunyi liquida seperti r dan l, serta bunyi sengau seperti
m, n, ny, dan ng. Contoh Bunyi euphonypada suasana-suasana “keriangan” yang
tampak dalam puisi yang diteliti dalam antologi puisi Suara Waktu karya Bangkit Prayogo antara lain ada di data (7) di
bawah ini.
Ibu dan Anaknya di Dekat Bus Kota
Ibu dan anaknya
makan dengan riang
Padahal ada
dua bungkus lalat di sebelahnya
Jari-jari menari,
riang dan lahap
Tanpaada kesedihan,
memulai dari cantiknya
(IADBK-BP/D1/B1/19)
Berdasarkan puisi di atas menggambarkan
seorang ibu dengan anaknya yang makan dengan riangnya tanpa mempedulikan bahwa
di sekitarnya masih ada orang lain yang kelaparan sedang melihatnya, mereka
tetap saja makan dengan bahagianya dan melahap makanan tersebut. Dalam puisi di
atas penggunaan kombinasi-kombinasi bunyi yang sering digunakan yaitu vokal a,
i, u, dan e seperti yang sudah digaris bawahi pada kutipan puisi di atas.
Contoh
Bunyi euphonypada suasana-suasana “semangat” yang tampak dalam puisi yang diteliti dalam antologi puisi Suara Waktu karya Hayyul Mubarok antara
lain ada di data (8) di bawah ini.
Asa
Kini
kita saling bercinta, tanpa
ragu-ragu
Menambang
asa, kita hidup bersama
sampai
Ajal menjemput
kita.
Kitaukir
janji dengan doa suci, dengan Bahagia
kita selalu berjumpa
Akankah
semua itu tercipta?
(A-HM/D1/B1/61)
Puisi di atas menggambarkan kisah cinta dua sejoli yang
tanpa ragunya mempunyai angan-angan untuk hidup bersama selamanya.Mereka juga
mempunyai rencana dan harapan untuk menikah.Dalam puisi di atas penggunaan
kombinasi-kombinasi bunyi yang sering digunakan yaitu vokal a, i, u, e dan o
seperti yang sudah digaris bawahi pada kutipan puisi di atas.
(9) Duri-duri begitu
banyak, ia tak mau beranjak,
Ia menunggu
kita, agar kita tak bersama,
Apakah
kita diam saja, sedangkan
doa
sudah
tercipta
(A-HM/D1/B2/61)
Dengan tekad yang kuat mereka berjanji untuk bersama
selamanya meski banyak masalah dan cobaan dalam hubungan mereka. Cobaan itu tak
lain adalah orang sekitar yang menginginkan mereka berpisah, namun mereka tak
putus asa dengan itu semua karena janji untuk bersama selamanya sudah terucap.
Dalam puisi di atas penggunaan kombinasi-kombinasi bunyi yang sering digunakan
yaitu vokal a, i, u, dan e seperti yang sudah digaris bawahi pada kutipan puisi
di atas.
(10) “Marilah
dengan selembar keyakinan,
kita
Cipta
sebuah menara, kita kibarkan
sebuah
Bendera,
diatasnya kitaakan bahagia
(A-HM/D1/B3/61)
Dengan semangat yang teguh mereka berkeyakinan ingin
membangun sebuah bahterai rumah tangga dan disitulah mereka akan bahagia. Ide
percintaan yang ditulis penyair tersebut secara semiotika sesuai dengan
pilihan-pilihan kata yang menimbulkan suasana yang memberi semangat bagi
pembaca dalam mengatasi masalah hubungan percintaan.
3.2
Estetika Simbol Diksi
Setiap
penyair ingin mencurahkan semua apa yang ada dalam pikiran dan benak,
mengekspresikan dalam kata-kata, namun terkadang penyair terhambat dalam
menentukan kata, mana yang lebih pantas, dan yang lebih layak. Pemilihan kata
dalam sebuah karya sastra inilah yang biasa disebut diksi. Barfield (dalam Pradopo, 2007:34) mengemukakan bahwa bila
kata-kata disusun dengan cara yang sedemikian rupa hingga artinya menimbulkan
imaginasi estetik, maka hasilnya itu disebut diksi puitis.Jadi, diksi itu untuk mendapatkan kepuitisan, untuk
mendapatkan nilai estetik. Pemilihan kata yang tepat serta dengan memperhatikan
unsur-unsur kepuitisan seperti sarana retorika, bunyi dan bahasa kiasan akan
menimbulkan nilai ekspresif yang koheren.
Penyair ingin mengekspresikan pengalaman jiwanya secara
padat dan intens. Untuk hal ini ia memilih kata yang setepat-tepatnya yang
dapat menginterpretasi pengalaman jiwanya. Untuk mendapatkan kepadatan dan
intensitas serta supaya selaras dengan sarana komunikasi puisi yang lain, maka
penyair memilih kata secermat-cermatnya.
Penyair mempertimbangkan perbedaan arti sekecil-kecilnya
dengan sangat cermat. Butuh kerja intelektual yang intensuntuk mengungkap dibalik
simbol-simbol yang tertuang dalam puisi, seperti seorang para ahli
naskah kuno memecahkan kode-kode bahasa yang dikenalnya (Werren dan Wellek,
1990:241). Pemakain kata mencakup dua masalah pokok, yakni pertama, masalah ketepatan memiliki kata untuk mengungkapkan
sebuah gagasan atau ide.
Kedua, masalah kesesuaian atau kecocokan dalam
mempergunakan kata tersebut. Ketepatan pilihan kata mempersoalkan kesanggupan
sebuah kata untuk menimbulkan gagasan-gagasan yang tepat pada imajinasi pembaca
atau pendengar, seperti apa yang dipikirkan atau dirasakan oleh penulis atau
pembaca. Untuk ketepatan pemilihan kata seringkali penyair menggantikan kata
yang dipergunakan berkali-kali, yang dirasa belum tepat, bahkan meskipun
sajaknya telah dimuat diberbagai media, sering masih diubah kata-katanya untuk
ketepatan dan kepadatannya.Bahkan ada baris atau kalimat yang diubah susunannya
atau dihilangkan. Seperti halnya yang tampak dalam puisi yang diteliti dalam
antologi puisi Suara Waktu karya
Bangkit Prayogo antara lain ada di data (11) di bawah ini.
Pahlawan
itu Hilang
Selalu
kudengar, pahlawan adalah sebiji manusia besi
Dan selalu dipuji puji
untuk dihormati
Selalu kudengar pula,
pahlawan itu adalahsejati
Yang bertepuk dada
sampai darah mengucur
Dari hatinya
(PH-BP/D2/B1/2)
Berdasarkan puisi di
atas menggambarkan seorang yang mengagumi sosok pahlawan kuat dan tangguh yang
ditegaskan pada pemilihan kata “sebiji
manusia besi”.Sedangkan diksi “sejati”
yang melambangkan pahlawan yang sebenarnya.Ia mendengar pahlawan yang
sebenarnya yaitu pahlawan yang tak pernah menyerah hingga apapun yang terjadi
sampai titik darah penghabisan ditegaskan pada pemilihan kata “darah mengucur”.
(12) Tapi,
yang kulihat adalah sebaliknya
Pahlawan ini menukar
jas untuk sebatang emas
Apalagi pahlawan ini berbaju emas, yang selalu
Ada di atas ari-ari
(PH-BP/D2/B2/2)
Namun
kini ia melihat pahlawan itu sudah tidak sejati dalam artian bukan pahlawan
yang sebenarnya. Dalam kutipan “menukar
jas untuk sebatang emas” melambangkan seorang pahlawan yang rela menukar
harga dirinya, rela menukar kehormatanya untuk mendapat jabatan yang lebih
tinggi, apalagi pahlawan itu mempunyai banyak uang dan ia berada di atas
orang-orang yang miskin yang ditegaskan pada pemilihan kata “di atas ari-ari”.
(13) Kesabaranku hilang, kuhampiri pahlawan ini
Kusapa, dan kusiram dengan ucapan. Dia
diam:
“Entahlah aku heran melihat pahlawan sepertimu”
(PH-BP/D2/B4/2)
Kesabaranya kini hilang
ia sudah tidak bisa menahan kelakuan pahlawan itu yang sudah salah jalan, ia
berusaha memberi nasihat dengan kata-kata.
Namun pahlawan itu tidak mempedulikannya terdapat dalam kutipan “kusiram dengan ucapan” dan diapun tetap pergi tanpa harga diri.
(14) Pahlawan
itu tetap berlari tanpa busana
Pahlawan itu hilang!
(PH-BP/D2/B4/2)
Pahlawan dari masa lalu itu pun kehilangan jati dirinya
ditegaskan pada pemilihan kata “pahlawan
itu hilang”.Kekonkretan puisi di atas tampak dalam penggunaan kosa kata
yang tidak mudah dicerna dan juga jarang digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Kata-kata seperti: sebiji manusia besi, menukar
jas untuk sebatang emas, di atas ari-ari adalah kata-kata yang jarang diucapkan
dalam sehari-hari. Namun kata berbaju emas dan sebiji manusia besi termasuk ke
kata-kata yang mudah dicerna.
(15) Rinduku Padamu
Andaikan aku boleh berkata
Aku hanya ingin berkata, aku ingin
Kau di sini, Memberi kasih sayang
Memberi suapan, dan memberi ketulusan
(RP-BP/D2/B1/11)
Berdasarkan puisi di
atas, merupakan puisi monolog. Si aku ingin berkata bahwasannya dia mengiginkan
ibunya berada di sisinya memberikan kasih sayang dan ketulusan tercermin secara
nyata dan visual dalam larik : memberi kasih sayang, memberi suapan, dan
memberi ketulusan.
(16) Andaikan aku boleh berkata
Aku hanya ingin kau di sini
Melewati masa tuamu dan
menjaga keadaan
(RP-BP/D2/B2/11)
Si
aku menginginkan agar ibunya melewati masa tuanya dengan tidak melakukan
apa-apa dan hanya menjaga diri yang ditegaskan pada pemilihan kata “melewati masa tuamu, dan menjaga keadaan”.
(17) Andaikan aku boleh berkata
Hidup dan situasi adalah dua hal
Yang selalu kau bebankan
Aku rindu kasih sayangmu
Rindu, dengan harapan
(RP-BP/D2/B3/11)
Si aku selalu ingin
mengatakan bahwa ia terbebani dengan situasi yang seperti ini terdapat pada
diksi “selalu kau bebankan”. Si aku
benar-benar merindukan ibunya, rindu belaian, kasih sayangnya dan rindu
kebersamaan dengan penuh harapan. Dalam bait ini kesederhanaa kata-kata sering
digunakan seperti: andaikan aku boleh berkata, ini menunjukkan bahwa dia
benar-benar menginginkan ibunya berada di sisinya di sisa umurnya yang sudah
tua itu. Si aku sangat merindukan kasih sayang dari ibunya yang sudah lama
tidak dia dapatkan dengan harapan agar bisa terwujud semua keinginannya
itu.Kekonkretan puisi di atas tampak dalam penggunaan kosa kata yang mudah
dicerna dan juga sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
(18) Anak
Rantau
Takdir menepi di pelabuhan selatan
Di utara ada kepingan
tangis
Tersapu
purnama.Gugur
(AR-FS/D2/B1/24)
Berdasarkan
puisi di atas menggambarkan tentang seseorang anak lelaki yang pergi bekerja
jauh merantau, sedangkan di seberang sana ada tangisan yang tak ada hentinya
ditegaskan pada pemilihan kata “tersapu purnama”.
(19) Kalau ada kupu-kupu merah
pulang
Ke rumah, kutitip salam
padamawar
Termakan waktu
(AR-FS/D2/B2/24)
Dia
berharap jika ada temannya yang pulang kampung dia ingin sekali menitipkan
salam kepada gadis pujaan hatinya yang lama tak berjumpa di tegaskan pada
pemilihan kata “mawar” yang
melambangkan wanita.
(20) Perantauan sepi memikul rindu
Bulan rapuh. Tak terbaca
bibir bocah
Sampai di ujung fajar,
pelabuhan selatan
(AR-FS/D2/B3/24)
Di tempat pekerjaan itu ia merasa
kesepian menahan rindu yang tak kunjung
usai sampai bulanpun selesai hingga tahun berikutnya. Kekonkretan puisi di atas
tampak dalam penggunaan kosa kata yang mudah dicerna dan sering digunakan dalam
kehidupan sehari-hari, kata-kata
perbendaharaan dasar hingga menjadi abadi, dalam arti dapat dipahami sepanjang
masa, tidak hilang atau menjadi kabur maknanya. Kata-kata tersapu purnama, dan
mawar adalah kata-kata yang sering diucapkan dalam sehari-hari.
(21) Tentang Gadis Kecil
Gadis
kecil pakaian angin
Jiwanya berbaring di bawah langit Menatap
purnama serpihan surga
(TGK-FS/D2/B1/29)
Berdasarkan puisi di
atas menggambarkan seorang anak kecil yang sedang menikmati angin malam
berbaring dan menatap indahnya purnama, ia berangan-angan seseorang yang telah
meninggalkannya sudah tenang di alam surga ditegaskan pada pemilihan kata “serpihan surga”.
(22) Dari
matanya, ia bermimpi:
Melihat istana dan para malaikat
Menari membacakannya
dongeng
(TGK-FS/D2/B2/29)
Si
gadis kecil membayangkan lagi bersama ibunya berada di surga dengan dikelilingi
para malaikat yang sambil membacakan dongeng untuk mereka.
(23) Di
hatinya, ia ingin terus di sana
Menikmati belai angin
musim dingin
Menjadi ratu dengan
siraman rembulan
(TGS-FS/D2/B3/29)
Gadis
kecil tadi berandai-andai bahwa ibunya bersamanya menemaninya, ia ingin
menghabiskan hari-harinya bersama sang ibu di malam hari di bawah sinar
rembulan menikmati angin di musim dingin terdapat pada diksi “belai angin”.
(24) Tapi
seketika badai menyapa:
Wajahnya kemilau bintang
sunyi Suaranya
lantunan sungai pekat
Langkahnya dingin tiupan
hujan
Matanya berkabut dengan
malam
(TGS-FS/D2/B4/29)
Tapi
ia tiba-tiba tersadar dari lamunannya itu bahwa kenyataannya ibunya sudah tidak
bisa bersamanya lagi ditegaskan pada pemilihan kata “seketika badai menyapa”. Dan gadis itu tiba-tiba terdiam, ia tidak
bisa berkata-kata karena takdir berbicara lain. Ia kini pasrah dengan
kenyataan.
(25) Tak
ada yang ingin ia dengarkan
Selain bisikan ibu dalam
pinjaman
waktu
(TGS-FS/D2/B5/29)
Si
gadis kecil sangat sedih melihat kenyataan, bahwa jauh dilubuk hatinya dia
selalu berharap bisa bersama dengan ibunya bisa memeluknya, dan ia juga ingin
mendengarkan suara ibunya itu.
(26) “Nak,
ketika kau memiliki waktu
Untuk tersenyum dan
pura-pura
menangis, bersyukurlah,
harimu
yang panjang selalu
dirindukan
ketika tak ada lagi, dan
tutuplah
tidurmu dengan doa.”
(TGS-FS/D2/B6/29)
Di
dalam kutipan di atas sang ibu berpesan kepada si gadis kecil supaya dia
menjadi anak yang tegar, tabah, sabar dalam menghadapi cobaan di dalam hidupnya
dan agar ia menjadi anak yang bermanfaat. Karena jika ia menjadi anak yang
tabah, tegar dan sabar maka kelak di saat ia tiada maka akan banyak orang yang
menangisinya dan tak mau melepas kepergiannya karena rindu akan sesosok gadis
kecil yang bermanfaat dan disayangi banyak orang terdapat pada diksi “harimu yang panjang selalu dirindukan”.
(27) Bangkai Kotaku
Kota bersinar dari emas
Jauh berbeda dari
kepolosan
Ada yang lebih dari yang
terlihat
Tataplah ke dalam air,
kotakegelapan
(AR-FS/D2/B1/30)
Berdasarkan
puisi di atas menggambarkan kota mentropolitan, kota besar yang jauh dari
ketentraman dan kedamaian. Memang kota itu kota besar kota yang serba ada namun
semakin di lihat ke dalam maka kehancuranlah yang terlihat terdapat pada
pemilihan kata “kegelapan”.
(28) Kota ini tempat hunian iblis
Tempat bagi semua jiwa
tak bersih
Semua burung kotor
memaksa minum
Anggur beracun berzina
dengan raja-raja
(AR-FS/D2/B3/30)
Kota
yang besar dan serba ada ini malah dirusak oleh orang-orang yang berpenghuni di
kota itu. Kini kota itu sudah menjadi tempat yang menghantui orang-orang
sekitar berbuat kotor dengan mabuk-mabukan dan berzina dengan orang-orang yang
berpangkat tinggi ditegaskan pada pemilihan kata “berzina dengan raja-raja”.
Kekonkretan puisi di
atas tampak dalam penggunaan koa kata yang mudah dicerna dan sering digunakan
dalam kehidupan sehari-hari. Kata-kata kegelapan, hunian iblis, jiwa tak bersih
, anggur beracun adalah kata-kata yang sering diucapkan dalam sehari-hari.
(29) Rentetan Padi
Kupandangi fajar
menghadap kiblat,
Bersama angin yang berderu
Kulihat rentetan padi yang menangis
Saat tanah yang bengkak,
Akar-akarnya yang pekak
(RP-HM/D2/B1/65)
Berdasarkan puisi di
atas menggambarkan sawah dengan hamparan padi yang luas di tegaskan pada
pemilihan kata “rentetan”namun padi
itu kekurangan air yang ditegaskan pada pemilihan kata “bengkak”.Sang pemilik padi tidak mempedulikan keadaan padinya
yang kering kekurangan air di tegaskan pada pemilihan kata “pekak”.
(30) Padi
sepuh, kau rapuh, kau haus,
Kau hangus, sebab majikanmu
Yang rakus
Padi yang sepuh, kau binasa
Kau pasti bisa, sebab kau tak berdosa
(RP-HM/D2/B2/65)
Keadaan
padi itu kini sudah tua, rapuh dan kering sebab pemiliknya yang rakus tak bisa
merawat padinya dengan baik walaupun butuh siraman air untuk menyegarkan
hidupnya dan butuh ketulusan untuk dirawat, tapi sang pemilik tak mempedulikan
itu dia malah hanya memikirkan hasilnya saja tanpa mendengar jeritan padinya
yang haus akan siraman air.
Kekonkretan
puisi di atas tampak dalam penggunaan koa kata yang mudah dicerna dan sering
digunakan dalam kehidupan sehari-hari, kata-kata perbendaharaan dasar hingga menjadi
abadi, dalam arti dapat dipahami sepanjang masa, tidak hilang atau menjadi
kabur maknanya.Kata-kata rentetan, bengkak, pekak adalah kata-kata yang sering
diucapkan dalam sehari-hari.
(31) Badung
Belum lagi malam, caur Jakartamu
Unggasku belum juga pulang
Aku juga unggas yang belum mengerti
arti kepulangan hanya melongok
jika
kubayangkan Kota bergedung,
kampung
melebarkan parit-parit untuk
jalanan air pipis
Masih larut ia mengaji tawa
pinggir jalan
Tanpa lagi kerudung sebagai
tempat berlindung
(B-JS/D2/B1/87)
Berdasarkan
Puisi di atas menggambarkan wanita nakal yang tinggal di Jakarta, selain itu ada wanita lain yang
sama-sama tersesat di dalam lembah hitam. Mereka di Jakarta bekerja sebagai wanita
malam ditegaskan pada pemilihan kata “unggas”
yang berarti wanita yang bekerja di malam hari yang tidak melihat situasi yang
ada mereka hanya melihat ke sana dan kemari mencari mangsa. Tempat dengan
bangunan-bangunan yang bertingkat, meski larut malam ia tetap bekerja
menjajakan dirinya di pinggir jalan tanpa adanyanya kehormatan dan iman sebagai
pelindung.
BAB
IV
SIMPULAN
DAN SARAN
4.1 Simpulan
Berdasarkan
rumusan masalah dalam antologi puisi Suara Waktu maka peneliti memberi
kesimpulan sebagai berikut.
a)
Secara semiotika, bunyi dalam
puisi sangat berpengaruh terhadap pencitraan dan penggambaran suasana dalam
puisi. Suara merdu (efoni) menimbulkan keriangan, semangat, gerak, vitalitas
hidup, kegembiraan, keberanian dan sebagainya. Sedang sebaliknya bunyi parau
(kakafoni) menggambarkan suasana
ketertekanan, keterasingan, kesedihan, syahdu, suram, haru, pilu, dan
sebagainya.
b)
Secara
lapangan semiotika, diksi memiliki peran sentral untuk menentukan sebuah makna.
Diksi berpengaruh besar akan terciptanya sarana kepuitisan seperti: metafora,
personifikasi, retorika puisi serta keselarasan bunyi yang indah (orkestrasi).
Selain itu secara struktur puisi juga memiliki pengaruh besar terhadap
penafsiran.
4.2
Saran
Demi
kemajuan penelitian selanjutnya, peneliti akan memberikan saran atau masukan
kepada beberapa pihak yang berhubungan dengan kajian yang terdapat dalam
penelitian ini. Berikut saran dan masukannya.
a)
Penelitian ini diharapkan mampu
memberikan sumbangan wawasan terhadap siswa, mahasiswa atau akademisi yang akan
mengadakan penelitian yang relevan dengan penelitian ini.
b)
Penelitian berikutnya hendaknya
dilakukan dengan versi yang berbeda, agar pemahaman tentang estetika simbol
dapat disajikan dengan lebih utuh dan komplek.
DAFTAR
PUSTAKA
Aminuddin. 2004. Pengantar Apresiasi Sastra. Jakarta:
Sinar Baru
Algesindo.
Darma,
Budi. 2007. Bahasa, Sastra dan Budi Darma. Surabaya :
JP
Books.
Kumpulan Puisi Bersama.
2014. Suara Waktu. Surabaya. Sahabat
Mandiri.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2013. Beberapa Teori Sastra, Metode
Kritik, dan Penerapannya.Yogyakarta:Pustaka
Pelajar.
Pradopo, Rachmat Djoko.
2007. Pengkajian Puisi. Yogyakarta:
Gajah
Mada Utama Press.
Ratna,
Nyoman Kutha. 2013. Teori, Motode dan
Teknik Penelitian
Sastra.Yogyakarta:
Pustaka Belajar.
Sarjono,
Agus R. 2001. Sastra dalam Empat Orba.Yogyakarta.
Yayasan
Bentang Budaya.
Werren,
Austin dan Wellek, Rene. 1990. Teori Kesusastraan.
Jakarta.
PT. Gramedia.