ANALISIS STILISTIKA
CERPEN “MEREKA BILANG SAYA MONYET“ KARYA
DJENAR MAESA AYU
DAN
“CELOTEHAN SEPATU” KARYA ALPANSYAH
(Disusun Untuk Memenuhi Ujian Akhir
Semester Mata Kuliah Linguistik Lanjut & Terapan)
Disusun
oleh:
PUGUH HANDOYO
NIM : 20152110002
LATAR BELAKANG MASALAH
Trend sastra perempuan yang
kian “bertelanjang” mengguncang dunia kepenulisan kreatif (terutama penulisan
prosa cerpen dan novel) dan sekaligus jadi penanda muncul suatugenre sastra
baru yang lebih “berani” dan “terbuka” membuat “merangsang” minat
dan apresiasi sastra pada umumnya. Ketelanjangan yang nyaris jadi mencolok Oleh
karenanya sebagian pengamat sastra yang agak sentimentil justru memplesetkan
estetika (cara ucap) baru tersebut menjadi estetika “saru” (jorok) karena tanpa
malu-malu menggumbar kata-kata yang dulu dianggap tabu menjadi kata-kata yang biasa saja.
Seperti halnya Djenar yang mengangkat tema yang berbau-bau seks dan dalam
pemilihan kata (diksi) dan gaya bahasa yang digunakan bisa dibilang
tinggi, dalam pemilihan kata djenar lebih berani dalam menggunakan
simbol-simbol dalam cerpennya.
Djenar lebih banyak bercerita tentang hal
ikhwal anak-anak remaja (sangat remaja) yang tidak bahagia dalam keluarga
karena tak ada perhatian dari orang tuanya. Temanya, tentang
kemunafikan, atau berkisar tentang pelecehan seksual oleh orang tua dalam
keluarga dan lingkungansekaligus Djenar mengekspos bagaimana respon atau
pun akses dari si korban pelecehan.
Di sisi lain, cerpen ‘Celoteh Sepatu’ karya
Alphansyah kaya akan unsur stilistik dan gaya bercerita yang humoris yang
menunjukkan kepiawaian penulisnya dalam menceritakan kondisi kehidupan yang
dialami oleh tokoh utama dalam cerpen ini.
Masalah Berdasarkan paparan yang dikemukakan,
masalah yang menjadi pokok perhatian penulis adalah: 1) Bagaimanakah diksi
cerpen Mereka bilang Saya Monyet dan cerpen Celoteh Sepatu? 2) Bagaimanakah
gaya bahasa kedua cerpen tersebut?
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk
menjawab permasalahan yang dirumuskan terdahulu. Adapun tujuan penelitian ini
adalah untuk memaparkan bentuk diksi
kedua cerpen dan Kerangka Teori Kerangka
teori penelitian ini berawal dari pernyataan Wellek dan Warren (1993:229) yang
menyebutkan bahwa analisis stilistik akan membawa keuntungan besar bagi studi
sastra yang dapat menentukan suatu prinsip yang mendasari kesatuan karya sastra
dan dapat juga menemukan suatu tujuan estetika umum yang menonjol dalam sebuah
karya sastra dari keseluruhan unsurnya.
TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Cerpen
Cerita pendek atau cerpen merupakan
salah satu karya sastra yang habis dibaca sekali duduk. Menurut Soeharianto
(1982: 39), cerpen adalah wadah yang biasanya dipakai oleh pengarang untuk
menyuguhkan sebagian kecil saja dari kehidupan tokoh yang paling menarik
perhatian pengarang.
Menurut Soeharianto (1982)
cerita pendek bukan ditentukan oleh banyaknya halaman untuk mewujudkan cerita
tersebut atau sedikit tokoh yang terdapat di dalam cerita itu, melainkan lebih
disebabkan oleh ruang lingkup permasalahan yang ingin disampaikan oleh bentuk
karya sastra itu. Jadi jenis cerita yang pendek belum tentu dapat digolongkan
menjadi cerita pendek, jika ruang lingkup permasalahannya tidak memenuhi
persyaratan sebagai cerpen.
Media yang digunakan oleh cerpen untuk
menyampaikan pikiran pengarang adalah bahasa. Bahasa dalam karya sastra
merupakan lambang yang mempunyai arti yang ditentukan oleh perjanjian atau
konvensi dari masyarakat. Bahasa yang digunakan di dalam karya sastra cenderung
menyimpang dari kaidah kebahasaan, bahkan menggunakan bahasa yang dianggap aneh
atau khas. Penyimpangan penggunaan bahasa dalam karya sastra, menurut
Riffaterre (dalam Supriyanto, 2009: 2) disebabkan oleh tiga hal yaitu
displacing of meaning (penggantian arti), dan creating of meaning (perusakan
atau penyimpangan arti), dan creating of meaning (penciptaan arti).
Oleh karena banyak penyimpangan arti
di dalam karya sastra, maka pengamatan atau pengkajian terhadap karya sastra
(cerpen) khususnya dilihat dari gaya bahasanya sering dilakukan. Pengamatan
terhadap karya sastra (cerpen) melalui pendekatan struktur untuk menghubungkan
suatu tulisan dengan pengalaman bahasanya disebut sebagai analisis
stilistika.
Salah satu cerpen yang sangat menarik
untuk dikaji menggunakan analisis stilistika adalah cerpen Mereka Bilang Saya
Monyet karya Djenar Maesa Ayu dan Celotehan Sepatu karya Alphansyah.Kedua
Cerpen ini menarik untuk dikaji karena mengandung banyak majas (gaya bahasa)
dan bahasa kiasan.
Stilistika
1. Pengertian gaya bahasa
Keraf (2009:112) Gaya atau khusunya gaya bahasa dikenal dalam retorika
dengan istilahstyle. Kata style diturunkan dari kata
Latin stilus, yaitu semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin. Keahlian
menggunakan alat ini akan mempengaruhi jelas tidaknya tulisan pada lempengan
tadi. Kelak pada waktu penekanan dititk beratkan pada keahlian untuk menulis
indah, maka style lalu berubah menjadi kemampuan dan keahlian untuk menulis dan
mempergunakan kata-kata secara indah.
Karena perkembangan itu, gaya bahasa
atau style menjadi masalah atau bagian dari diksi atau
pilihan kata yang mempersoalkan cock tidaknya pemakaian kata, frasa atau kalusa
tertentu untuk menghadapi situasi tertentu. Sebab itu, persoalan gaya bahasa
meliputi semua hirarki kebahasaan: pilihan kata secara indvidual, frasa,
klausa, dan kalimat, bahkan mencakup pula sebuah wacana secara keseluruhan.
Malahan nada yang tersirat di balik sebuah wacana termasuk pula persoalan gaya
bahasa. Jadi jangkauan gaya bahasa sebenarnya sangat luas, tidak hanya mencakup
unsur-unsur kalimat yang mengandung corak-corak tertentu, seperti yang umum
terdapat dalam retorika-retorika klasik.
Walaupun kata style berasal
dari bahasa latin, orang yunani sudah mengembangkan sendiri teori-teori
mengenai style itu. Ada dua aliran yang terkenal, yaitu:
a) Aliran Platonik: menganggap style sebagai
kualitas suatu ungkapan; menurut mereka ada ungkapan yang memiliki style,
ada juga yang tidak memiliki style.
b) Aliran Aristoteles: menganggapan bahwa gaya
adalah suatu kualitas yang inheren, yang ada dalam tiap ungkapan.
Dengan demikian, aliran Plato
mengatakan bahwa ada karya yang memiliki gaya dan ada karya yang sama sekali
tidak memilki gaya. Sebaliknya, aliran Aristoteles mengatakan bahwa semua karya
memilki gaya, tetapi ada karya yang memilki gaya yang tinggi ada yang rendah,
ada karya yang memiliki gaya yang kuat ada yang lemah, ada yang memilki gaya
yang baik ada yang memilki gaya yang jelek.
Bila kita melihat gaya secara
umum, kita dapat mengatakan bahwa gaya adalahcara mengungkapkan
diri sendiri, entah melalui bahasa, tingkah laku, berpakaian, dan
sebagainya. Dengan menerima pengertian ini, maka kita dapat mengatakan, “Cara
berpakaiannya menarik perhatian orang banyak”, “Cara penulisannya lain daripada
kebanaykan orang”, “ Cara jalannya lain dari yang lain”, yang memang sama
artinya dengan “gaya berpakaian “ , “gaya menulis “ dan “gaya berjalan”.
Dilihat dari segi bahasa, gaya bahasa adalah cara menggunakan bahasa. Gaya
bahasa memungkinkan kita dapat menilai pribadi, watak, dan kemampuan sesorang
yang mempergunakan bahasa itu. Semakin banyak gaya bahasanya, semakin baik pula
penilaian orang terhadapnya: semakin buruk gaya bahasa sesorang, semakin buruk
pula penilaian diberikan padanya.
Akhirnya style atau gaya bahasa dapat
dibatasi sebagai cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas
yang memperhatikan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa). Seperti
halnya dengan Djenar dalam cerpennya
yang berjudul Mereka Bilang Saya monyet, dalam gaya penulisannya Djenar lebih
berani, dan bahasa yang digunakannya pun tinggi sehingga kita sebagai pembaca
akan mengalami kesulitan dalam memahami cerita yang ditulisnya dan langkah
baiknya kita membaca dengan berulang-ulang.Namun cerpen Celotehan Sepatu karya
Alphansyah lebih ke arah humoris.
PEMBAHASAN
I.
Dari cerpen Mereka Bilang Saya Monyet karya Djenar
Maesa Ayu, cerpen tersebut menggunakan
simbol-simbol atau perumpamaan yang dijadikan senjata untuk menarik pembaca,
maka untuk lebih dalam saya akan mengaji kedua cerpen tersebut dengan melihat
dari sisi penulis dalam pemilihan kata (diksi) dan begitu pun dari segi gaya
bahasa yang digunakannya.dari diksi (pilihan kata) dan gaya bahasa yang mana
Banyak dari cerpen Djenar Maesa Ayu
dalam kumpulan Mereka bilang saya Monyet! Ini berkisar atau berlatar belakang
ikhwal anak-anak masih sangat remaja yang tidak berbahagia dalam keluarga,
karena kurang perhatian dan kasih sayang dari orangtua, atau karena ibu atau
ayah yang lebih mementingkan serta asyik dengan diri sendiri, atau karena telah
kehilangan orang tua di masa yang sangat muda, berikut pelecehan seksual
terhadap sang anak oleh orang dekat dalam keluarga atau oleh lingkungannya
(teman sekolah), sekaligus mendedahkan respon atau akibatnya bagi para
korban.
Maka wajar jika penggambarannya
(imajinasi) mendapatkan pemebesaran (Hyperbolic) dan cenderung karikatural
seperti tampak dalam mereka bilang, saya monyet!” dimana orang-orang munafik
digambarkan sebagai hewan aneh. Bila dalam sang “saya” tidak bisa melakukan
perlawanan yang berarti, sang “saya” dalam cerpen ini mungkin karena tokohnya
lebih dewasa bisa melakukan perlawanan dan melepaskan diri dari suasana munafik
yang ditemuinya.
Yang unik dalam cerpen Mereka Bilang Saya Monyet (MBSM),
orang-orang munafik digambarkan seperti hewan aneh:
“kebutuhan saya untuk buang air kecil semakin
mendesak. Saya mnegetuk pintu kamar mandi pelan-pelan, tidak ada jawaban tidak
ada suara air dan tidak ada suara mengedan. Saya mendengar desahan tertahan.
Desahan itu berangsur diam. Saya mengintip lewat lubang kunci bersaman dengan
pintu dibuka dari dalam. Sepasang laki-laki dan perempuan keluar dari kamar
mandi Yang laki-laki lantang memaki “dasar binatang! Dasar monyet ! Gak punya
otak ngintip-ngintip orang!”. Seharusnya saya menghjar laki-laki berkepala
buaya dan berekor kalajengking itu…”. (hal.3)
Kreatif dalam pemilihan ide
diksinya, realitanya terkadang binatang jauh lebih ”manusiawi”
dan manusia seringkali berkelakar layaknya ”binatang”, dalam cerpen inimemberi
perlawanan atas suasana kemunafikan yang ditemuinya. Menarik membaca cerpen ini
karena dengan penghayatannya. Djenar mampu menggambarkan sosok-sosok
munafik yang sejatinya memang terhampar di depan mata kita.
Penelitian stilistika menaruh
perhatian pada penggunaan bahasa dalam karya sastra. Persoalan yang menjadi
fokus perhatian stilistika adalah pemakaian bahasa yang menyimpang dari bahasa
sehari-hari, atau disebut bahasa khas dalam wacana sastra. Penyimpangan
penggunaan bahasa bisa berupa penyimpangan terhaap kaidah bahasa, banyaknya
pemakaian bahasa daerah, dan pemakaian bahasa asing atau unsur-unsur asing.
Penyimpangan terhadap kaidah kebahasaan tersebut diduga dilakukan untuk tujuan
tertentu.
Pusat perhatian stilistika adalah
penggunaan bahasa (gaya bahasa) secara literer dan sehari-hari. Sebagai
stylist, seseorang harus mampu menguasai norma bahasa pada masa yang sama
dengan bahasa yang dipakai dalam karya sastra. Penggunaan gaya bahasa juga
diarahkan oleh bentuk karya sastra yang ingin dihasilkan. Misalnya, gaya
penataan prosa fiksi (cerpen) berbeda dengan gaya penataan bentuk puisi. Dalam
cerpen, selain fokus dalam alur cerita, penulis dapat menggunakan gaya bahasa
dan bahasa kiasan agar cerpen yang dihasilkan lebih hidup dan
menarik pembaca.
Salah satu cerpen yang sarat dengan
gaya bahasa dan bahasa kiasan adalah kumpulan cerpen Mereka bilang saya Monyet
karya Djenar Maesa Ayu. Hampir semua barisnya menggunakan kata kiasan sehingga
pembaca diajak untuk menikmati kalimat demi kalimat, bukan hanya menikmati alur
ceritanya saja. Gaya bahasa dan bahasa kiasan yang terdapat di dalam
cerpen Mereka bilang saya Monyet karya Djenar Maesa Ayu antara lain
Paralelisme, hiperbola, simile, metafora, dan personifikasi.
GAYA BAHASA BERDASARKAN LANGSUNG TIDAKNYA MAKNA
a.Gaya Bahasa Retoris
1. Hiperbola
Hiperbola adalah semacam gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan, dengan membesar-besarkan sesuatu hal. Gaya bahasa hiperbola yang antara lain:
Hiperbola adalah semacam gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan, dengan membesar-besarkan sesuatu hal. Gaya bahasa hiperbola yang antara lain:
“Saling erat, saling mengaduh, hingga senja tiba dan pasang ombak
menghanyutkan tubuh mereka ketengah”. (hal 38)
“bayangan rambut hitam laki-laki yang tergerai hingga dada menari-nari
tertiup angin diatas kuda putih tak berpelana. (hal. 38)
“Laki-laki berkuda dengan dad bidang dan berkulit coklat kemerah-merahan
terbakar surya untuk menjemputnya”. (hal. 38)
“Mayra mengecup mereka dengan lembut dan menuntun mereka menuju pelangi
bertahtakan mutiara” (hal. 41)
b. Gaya Bahasa Kiasan
Gaya bahasa kiasan ini pertama-tama
dibentuk berdasarkan perbandingan atau persamaan. Membandingkan sesuatu dengan
sesuatu hal yang lain, berarti mencoba menemukan ciri-ciri yang menunjukan
kesamaan antara kedua hal tersebut. Perbandingan sebenarnya mengandung dua
pengertian, yaitu perbandingan yang termasuk dalam gaya bahasa yang polos atau
langsung, dan perbandingan yang termasuk dalam gaya bahasa
kiasan. Perbandingan dengan analogi ini kemudian muncul dalam bermacam –
macam gaya bahasa kiasan, seperti diuraiakan di bawah ini.
Di samping gaya bahasa, Djenar Maesa Ayu juga menggunakan bahasa kiasan
untuk menekankan makna dan mempertahankan unsur estetis. Bahasa kiasan yang
terdapat pada cerpen tersebut ada beberapa bahasa kiasan di antaranya:
a. Persamaan atau simile
Persamaan atau simile adalah perbandingan yang bersifat eksplisit. Yang
dimaksud dengan perbandingan yang bersifat eksplisit ialah bahwa ia langsung
menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain. Untuk itu, ia memerlukan upaya
yang secara eksplisit menunjukkan kesamaan itu, yaitu kata-kata: seperti,
sama, sebagai, bagaikan, laksana, dan sebagiannya. Gaya bahasa kiasan
Simile diantaranya:
“Saya hajar mukanya seperti apa yang saya harapkan
sebelumnya” (hal.10)
“ Namun sikap duduk mereka masih sama seperti ketika pertama
kali mereka datang ke kafe ini” (hal.5)
“Ia membayangkan laki-laki itu meraba payudaranya yang mulai tumbuh seperti yang
pernah ia rasakan di kantin sekolah”. (hal. 38)
“Semuanya sunyi dan hening sama seperti ketika Mayra terjaga
dari mimpinya”. (hal. 36)”
“Beberapa menit yang lalu ia tiba di sekolah dan seperti biasa
lima anak berandalan itu mencegatnya di pintu pagar”. (hal. 39)
“Tidak seperti biasa, kamar itu tidak terkunci”. (hal. 41)
“Sebagai anak tunggal ia menghabiskan banyak waktu hanya dengan
melamun tanpa seorang pun untuk diajak bicara. (hal. 31)
b. Metafora
adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi
dalam bentuk yang singkat: bunga bangga, buaya darat, buah hati,
cindera mata, dan sebaginya. Bahasa kiasan metafora yang terdapat pada
cerpen mereka bilang saya monyet antara lain:
“Kata mereka saya adalah seekor
monyet” (hal. 3)
“ Saya sudah terbiasa menelan rongsokan tanpa dikunyah lebih
dulu”. (hal.4)
“Dengkurannya sangat menggangu dan bau tidak sedap menyergap seisi
ruangan itu” (hal. 13)
c. Personifikasi atau prosopopoeia
Personifikasi atau prosopopoeia adalah
semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau
barang-barang yang tak bernyata seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan.
Personifikasi (penginsanan) merupakan suatu corak khusus dari metafora, yang
mengiaskan benda-benda mati bertindak, berbuat, berbicara seperti manusia. Bahasa
Kiasan Personifikasi dalam cerpen melukis jendela karya Djenar Maesa Ayu antara
lain:
“Sebuah jendela besar tanpa tirai menghadap ke sebuah dunia yang ia
inginkan. Ia sering masuk ke dalam jendela itu lalu menemukan dirinya terbaring
di hamparan hangat pasir putih dan riak ombak menggelitik pucuk jari kakinya”
(hal. 38)
“Disambut dengan kelengangan dan kesejukan dari dalam rumahnya yang ber
AC, ia akan segera masuk kamar dan menghabiskan waktu bercakap-cakap dengan
lukisan itu” (hal. 31)
II.
Dalam cerpen Celoteh Sepatu, ditemukan adanya
pemanfaatan sinonim seperti pada contoh berikut. “… syarat-syarat di lambungku
mulai bergejolak. Penghuni “kampung tengah itu” mulai berdemonstarasi menuntut
hak-haknya segera diperhatikan yaitu waktu makan siang yang hampir lewat.” Kata
lambung dan kampung tengah itu bersinonim. Pengarang menggunakan frasa kampung
tengahsebagai pengganti kata lambung untuk memberi kesan bahwa tokoh si aku
memang sangat lapar sehabis pulang mengajar. Pemanfaatan sinonim bisa juga
ditemukan dalam kutipan berikut. “ Mereka membalas dengan mencium tanganku
sebagai tanda hormat melepas kepergian sang pencari nafkah.” Frasa sang pencari
nafkah digunakan sebagai pengganti aku. Pencari nafkah di sini memberikan kesan
bahwa si tokoh aku masih memiliki kebanggaan pada dirinya meskipun dia hanya
seorang guru yang berpenghasilan pas-pasan. Ini juga menunjukkan rasa tanggung
jawab si aku terhadap istri dan anak-anaknya. Selain itu, pemanfaatan sinonim
yang lain ditemukan juga dalam kalimat: “Tidak lama kemudian bus pun bergerak
meninggalkan bocah-bocah penjual jajanan. Anak-anak kurang beruntung itu kini
menggantikan aku duduk di bangku reot …” Frasa bocah-bocah penjual jajanan
mengacu kepada anak-anak kurang beruntung. Si pengarang sengaja menggantikannya
dengan frasa anak-anak kurang beruntung untuk menunjukkan bagaimana sulitnya
kehidupan yang dihadapi oleh anak-anak tersebut. Frasa ini juga memberikan
kesan bahwa anak-anak itu hidup dari keluarga yang tak mampu sehingga dampak
dari kondisi kehidupan itu memaksa mereka untuk melakukan sesuatu (dengan
berjualan) membantu mencari penghasilan untuk orang tua mereka tanpa
memperdulikan masa depan.
a.
Pemanfaatan Kata Daerah kata-kata dari bahasa
daerah sering digunakan dalam karya sastra yang berlatar tempat daerah yang
bersangkutan atau tokohnya berasal dari daerah tertentu. Dengan demikian,
penggunaan kata- kata daerah menjadi sarana pelataran atau sarana penokohan.
Dalam cerpen Celoteh Sepatu ini, pengarang menggunakan kata-kata daerah yang
bervariasi. Ini menunjukkan luasnya wawasan si pengarang yang tertuang dalam
dialog antara tokoh aku dengan sepatu bututnya. Adapun contoh pemanfaatan kata
daerah tersebut dapat kita lihat pada kutipan berikut :
“…. Apa yang bisa digugu dan ditiru dari
seorang guru kere!” Kata gugu berasal dari bahasa jawa yang berarti dapat
diikut. Ini memberikan kesan kesederhanaan si aku dan tokoh sepatu serta
keakraban hubungan kedua tokoh tersebut. Pemakaian kata daerah terdapat juga
dalam kalimat berikut “…. Yuk Ara sudah nagih!” “…. Salim Nak, Bapak mau
berangkat kerja.” Kata Yuk berasal dari bahasa Palembang. Kata Yuk lengkapnya
Ayuk berarti kakak perempuan sedangkan salim berasal dari bahasa Jawa yang juga
dipakai dalam bahasa Palembang sehari-hari. Katasalim dalam konteks dialog di
atas bermakna bersalaman Pemanfaatan kata-kata daerah seperti yang terdapat
pada contoh di atas menunjukkan luasnya pengetahuan dan pengalaman si pengarang
terhadap pemakaian kosa kata daerah. Dalam cerpen ini bahasa Palembang dan
bahasa Jawa sangat dominan dipakai oleh pengarang. Ini menunjukkan keakraban si
pengarang terhadap kedua daerah tersebut. 7.1.3 Pemanfaatan Kata Asing
Penggunaan kata asing dalam percakapan dapat menimbulkan kesan atau
sekurang-kurangnya dimaksudkan untuk menimbulkan kesan tertentu, misalnya
“intelektual”, “sok intelektual”, atau kesan “wah!” Dalam cerpen Celoteh Sepatu
ini terdapat beberapa kalimat yang memanfatkan kata-kata asing, seperti: “
Sorry, Bung ! …..” “ Opps, just kidding !” Kedua ungkapan itu diucapkan oleh si
tokoh sepatu. Ini memberikan kesan watak dari tokoh si sepatu yang sok intelek
menutupi keadaan sebenarnya. Tokoh si aku juga memanfaatkan kata asing ini
seperti yang terdapat pada kalimat berikut. “ Tetapi pintaku lakukakanlah
tugasmu dengan baik walau sering dipandang sebelah mata dan jauh dari
prestise.” Kata prestise berasal dari bahasa Inggris “prestige” yang berarti
wibawa. Pemakaian kata ini menunjukkan luasnya pengetahuan si aku yang seorang
guru. Bahkan pemanfaatan kata ini diungkapnya dengan kalimat yang santun
sehingga memberikan kesan kebersahajaan dan kerendahan hatinya. Penggunaan kata
asing yang diucapkan si aku tidak terasa adanya kesan “sok intelek” seperti
pada tokoh sepatu.
b.
Gaya Bahasa Metafor dan Anomali “Metafor atau kiasan
adalah majas yang mengandung perbandingan yang tersirat sebagai pengganti kata atau
ungkapan lain untuk melukiskan kesamaan atau kesejajaran makna diantaranya”
(Sudjiman, 1986:41). Di dalam perbandingan yang tersirat itulah sering terdapat
anomali, yaitu “penyimpangan atau kelainan dipandang dari sudut konvensi
gramatikal atau semantik suatu bahasa” (Kridalaksana, 1982:12). Perhatikan
contoh berikut. “… keletihan sehabis mengajar di hari itu tumpah pada sebuah
bangku yang reot di depan warung nasi dekat jalan itu.” Keletihan merupakan
benda abstrak sedangkan tumpah dapat terjadi pada benda kongkret. Walaupun
bersifat anomali maknanya dapat dipahami. Ini memberikan gambaran yang kongkret
tentang perasaan letih yang tak tertahankan (abstrak) yang melanda tokoh aku.
7.2.2 Personifikasi Dalam majas ini sesuatu yang bukan manusia dibandingkan atau
diandaikan sebagai insan. Sifat- sifat insan diproyeksikan pada suatu barang
tak bernyawa. Contoh personifikasi tampak jelas pada judul cerpen ini Celoteh
Sepatu. Sepatu sebagai benda mati tentu tidak dapat berceloteh. Lazimnya
celoteh itu dipadankan dengan kata anak menjadi celoteh anak. Ini sebuah
insanan yang merupakan penyimpangan semantis. Personifikasi juga terdapat dalam
kalimat berikut. “Sol sepatuku menganga seolah siap mengejekku”. 7.2.3 Repetisi
Majas repetisi menegaskan sesuatu dengan mengulangi bagian yang dianggap
penting sehingga menimbulkan rasa semangat/dorongan. Majas repetisi ini
terdapat dalam cerpen Celoteh Sepatuseperti yang tampak dalam kalimat berikut:
“Dengung suara kendaraan dari kejauhan semakin lama semakin jelas, semakin kencang,
semakindekat, lalu mendesing”. Majas repetisi pada kalimat di atas ditunjukkan
dengan pemakaian kata semakin yang berulang. Ini memberi kesan adanya daya
semangat dan dorongan pada tokoh aku dalam penantiannya menunggu tumpangan bis.
Selain itu pemakaian repetisi juga terdapat dalam kalimat berikut. “Percuma-
percuma …. Semua idealisme yang kau katakan di depan kelas, semua prinsip yang
kau tanamkan kepada anak didikmu tidak akan berarti apa-apa bila melihat
keadaanmu sekarang”. Pemanfaatan majas repetisi pada kalimat itu ternyata
mengandung makna pesimis. Majas repetisi pada contoh di atas ditnjukkan dengan
pengulangan pemakaian kata percuma dan semua. Makna pesimis ini bisa terjadi
karena konteks kalimatnya berbeda dengan kalimat sebelumnya. Dari kedua contoh
itu kita bisa memahami bahwa selain menimbulkan rasa semangat, ternyata
repetisi bisa juga menimbulkan makna pesimis. Hal ini tergantung kepada konteks
kalimatnya.
c.
Majas Pertautan Pars Pro Toto Majas pertautan
pro toto menyebutkan nama bagian sebagai pengganti keseluruhannya (Sudjiman,
1986:56). Penyimpangan semantis yang terdapt padanya ternyata tidak
membingungkan, bahkan menimbulka citra visual yang jelas seperti dalam kalimat:
“Wajah mereka mengantar kepergianku sambil berharap agar aku lekas kembali …”
Kata wajah menunjukkan majas pertautan pars pro toto. Ini memberikan kesan
kedekatan hubungan tokoh aku dengan keluargnya.
PENUTUP
1.
Berdasarkan uraian
di atas maka dapat disimpulkan bahwa dalam membuat cerpen, Djenar Maesa Ayu
sangat memperhatikan nilai estetisnya sehingga banyak ditemukan gaya bahasa dan
bahasa kiasan. Walaupun gaya bahasa yang digunakan Djenar sedikit vulgar dan sedikit
berani. Ini yang membedakan Djenar dengan penulis yang lain.
2.
Dari cerpen yang dianalisis, dari segi gaya bahasa
retoris lebih banyak pada gaya bahasa hiperbola dan Simile. Djenar lebih
berimajainasi dan banyak menggambarkan tokoh dalam bahasa yang digunakannya
yaitu bahasa kiasan. Gaya bahasa dan bahasa kiasan tersebut berfungsi
memberikan efek estetis atau keindahan. Hal ini menjadikan karya Djenar menjadi
lebih hidup dan berbeda dengan karya lainnya.
3.
Kejelian
Alphansyah dalam memanfaatkan diksi dan beberapa bentuk gaya bahasa
membuat cerita pendek karyanya ini wajar dan hidup. Ketepatan pilihan itu juga
menimbulkan rasa akrab antara pembaca dengan tokoh, seolah-olah pembaca berada
di tengah-tengah mereka dan mengalami semua peristiwa yang dialami oleh
tokoh-tokoh dalam cerita. Selain itu, dalam cerita pendek ini penulis membangun
kisahnya sebagian besar dalam bentuk dialog yang terkesan humoris sehingga
pembaca hanyut menikmati aliran-aliran dialog yang terasa segar mengungkapkan
kesederhanaan kehidupan seorang guru yang berpenghasilan pas-pasan tetapi
bersyukur dan masih dapat menikmati kehidupannya dengan bersahaja dan selalu
optimis terhadap perubahan kondisi kehidupannya di masa depan.
DAFTAR PUSTAKA
Alpansyah. 2000.
Celoteh Sepatu. Dalam Sriwijaya Post, 1 Agustus 2004. Palembang.
Hendy, Zaidan. 1989. Pelajaran Sastra.
Jakarta : Gram
Ayu, Djenar Maesa. 2002. Mereka Bilang Saya Monyet. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka
Utama.
Keraf, Gorys, 2009. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama.
.
Suharianto, S. 1982. Dasar-dasar Teori Sastra. Surakarta:
Widya Duta
Supriyanto, Teguh. 2009. Stilistika dalam Prosa. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar