Sabtu, 12 Desember 2015

ANALISIS STILISTIKA CERPEN “MEREKA BILANG SAYA MONYET“ KARYA DJENAR MAESA AYU DAN “CELOTEHAN SEPATU” KARYA ALPANSYAH (Disusun Untuk Memenuhi Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Linguistik Lanjut & Terapan) Disusun oleh: PUGUH HANDOYO NIM : 20152110002



ANALISIS STILISTIKA
CERPEN “MEREKA BILANG SAYA MONYET“ KARYA DJENAR MAESA AYU
DAN
“CELOTEHAN SEPATU” KARYA ALPANSYAH
(Disusun Untuk Memenuhi Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Linguistik Lanjut & Terapan)


Disusun oleh:
     
PUGUH HANDOYO
                
                   NIM : 20152110002







LATAR BELAKANG MASALAH

Trend sastra perempuan yang kian “bertelanjang” mengguncang dunia kepenulisan kreatif (terutama penulisan prosa cerpen dan novel) dan sekaligus jadi penanda muncul suatugenre sastra baru yang lebih “berani” dan “terbuka” membuat “merangsang” minat dan apresiasi sastra pada umumnya.  Ketelanjangan yang nyaris jadi mencolok  Oleh karenanya sebagian pengamat sastra yang agak sentimentil justru memplesetkan estetika (cara ucap) baru tersebut menjadi estetika “saru” (jorok) karena tanpa malu-malu menggumbar kata-kata yang dulu dianggap tabu menjadi kata-kata yang biasa saja. Seperti halnya Djenar yang mengangkat tema yang berbau-bau seks dan dalam pemilihan kata (diksi) dan  gaya bahasa yang digunakan bisa dibilang tinggi, dalam pemilihan kata djenar lebih berani dalam menggunakan simbol-simbol dalam cerpennya.
 Djenar lebih banyak bercerita tentang hal ikhwal anak-anak remaja (sangat remaja) yang tidak bahagia dalam keluarga karena tak ada perhatian dari orang tuanya. Temanya, tentang kemunafikan, atau berkisar tentang pelecehan seksual oleh orang tua dalam keluarga dan lingkungansekaligus Djenar mengekspos bagaimana respon atau pun akses dari si korban pelecehan.
 Di sisi lain, cerpen ‘Celoteh Sepatu’ karya Alphansyah kaya akan unsur stilistik dan gaya bercerita yang humoris yang menunjukkan kepiawaian penulisnya dalam menceritakan kondisi kehidupan yang dialami oleh tokoh utama dalam cerpen ini.
 Masalah Berdasarkan paparan yang dikemukakan, masalah yang menjadi pokok perhatian penulis adalah: 1) Bagaimanakah diksi cerpen Mereka bilang Saya Monyet dan cerpen Celoteh Sepatu? 2) Bagaimanakah gaya bahasa kedua cerpen tersebut?
           Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk menjawab permasalahan yang dirumuskan terdahulu. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk  memaparkan bentuk diksi kedua cerpen  dan Kerangka Teori Kerangka teori penelitian ini berawal dari pernyataan Wellek dan Warren (1993:229) yang menyebutkan bahwa analisis stilistik akan membawa keuntungan besar bagi studi sastra yang dapat menentukan suatu prinsip yang mendasari kesatuan karya sastra dan dapat juga menemukan suatu tujuan estetika umum yang menonjol dalam sebuah karya sastra dari keseluruhan unsurnya.





































TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Cerpen
Cerita pendek atau cerpen merupakan salah satu karya sastra yang habis dibaca sekali duduk. Menurut Soeharianto (1982: 39), cerpen adalah wadah yang biasanya dipakai oleh pengarang untuk menyuguhkan sebagian kecil saja dari kehidupan tokoh yang paling menarik perhatian pengarang.
Menurut  Soeharianto (1982) cerita pendek bukan ditentukan oleh banyaknya halaman untuk mewujudkan cerita tersebut atau sedikit tokoh yang terdapat di dalam cerita itu, melainkan lebih disebabkan oleh ruang lingkup permasalahan yang ingin disampaikan oleh bentuk karya sastra itu. Jadi jenis cerita yang pendek belum tentu dapat digolongkan menjadi cerita pendek, jika ruang lingkup permasalahannya tidak memenuhi persyaratan sebagai cerpen. 
Media yang digunakan oleh cerpen untuk menyampaikan pikiran pengarang adalah bahasa. Bahasa dalam karya sastra merupakan lambang yang mempunyai arti yang ditentukan oleh perjanjian atau konvensi dari masyarakat. Bahasa yang digunakan di dalam karya sastra cenderung menyimpang dari kaidah kebahasaan, bahkan menggunakan bahasa yang dianggap aneh atau khas. Penyimpangan penggunaan bahasa dalam karya sastra, menurut Riffaterre (dalam Supriyanto, 2009: 2) disebabkan oleh tiga hal yaitu displacing of meaning (penggantian arti), dan creating of meaning (perusakan atau penyimpangan arti), dan creating of meaning (penciptaan arti). 
Oleh karena banyak penyimpangan arti di dalam karya sastra, maka pengamatan atau pengkajian terhadap karya sastra (cerpen) khususnya dilihat dari gaya bahasanya sering dilakukan. Pengamatan terhadap karya sastra (cerpen) melalui pendekatan struktur untuk menghubungkan suatu tulisan dengan pengalaman bahasanya disebut sebagai analisis stilistika. 
Salah satu cerpen yang sangat menarik untuk dikaji menggunakan analisis stilistika adalah cerpen Mereka Bilang Saya Monyet karya Djenar Maesa Ayu dan Celotehan Sepatu karya Alphansyah.Kedua Cerpen ini menarik untuk dikaji karena mengandung banyak majas (gaya bahasa) dan bahasa kiasan.




    Stilistika
1.        Pengertian gaya bahasa
Keraf (2009:112) Gaya atau khusunya gaya bahasa dikenal dalam retorika dengan istilahstyle. Kata style diturunkan dari kata Latin stilus, yaitu semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin. Keahlian menggunakan alat ini akan mempengaruhi jelas tidaknya tulisan pada lempengan tadi. Kelak pada waktu penekanan dititk beratkan pada keahlian untuk menulis indah, maka style lalu berubah menjadi kemampuan dan keahlian untuk menulis dan mempergunakan kata-kata secara indah. 
Karena perkembangan itu, gaya bahasa atau style menjadi masalah atau bagian dari diksi atau pilihan kata yang mempersoalkan cock tidaknya pemakaian kata, frasa atau kalusa tertentu untuk menghadapi situasi tertentu. Sebab itu, persoalan gaya bahasa meliputi semua hirarki kebahasaan: pilihan kata secara indvidual, frasa, klausa, dan kalimat, bahkan mencakup pula sebuah wacana secara keseluruhan. Malahan nada yang tersirat di balik sebuah wacana termasuk pula persoalan gaya bahasa. Jadi jangkauan gaya bahasa sebenarnya sangat luas, tidak hanya mencakup unsur-unsur kalimat yang mengandung corak-corak tertentu, seperti yang umum terdapat dalam retorika-retorika klasik.
Walaupun kata style berasal dari bahasa latin, orang yunani sudah mengembangkan sendiri teori-teori mengenai style itu. Ada dua aliran yang terkenal, yaitu:
a)        Aliran Platonik: menganggap style sebagai kualitas suatu ungkapan; menurut mereka ada ungkapan yang memiliki style, ada juga yang tidak memiliki style.
b)        Aliran Aristoteles: menganggapan bahwa gaya adalah suatu kualitas yang inheren, yang ada dalam tiap ungkapan.
Dengan demikian, aliran Plato mengatakan bahwa ada karya yang memiliki gaya dan ada karya yang sama sekali tidak memilki gaya. Sebaliknya, aliran Aristoteles mengatakan bahwa semua karya memilki gaya, tetapi ada karya yang memilki gaya yang tinggi ada yang rendah, ada karya yang memiliki gaya yang kuat ada yang lemah, ada yang memilki gaya yang baik ada yang memilki gaya yang jelek.
Bila kita melihat gaya secara umum,  kita dapat mengatakan bahwa gaya adalahcara mengungkapkan diri sendiri, entah melalui bahasa, tingkah laku, berpakaian, dan sebagainya. Dengan menerima pengertian ini, maka kita dapat mengatakan, “Cara berpakaiannya menarik perhatian orang banyak”, “Cara penulisannya lain daripada kebanaykan orang”, “ Cara jalannya lain dari yang lain”, yang memang sama artinya dengan “gaya berpakaian “ , “gaya menulis “ dan “gaya berjalan”. Dilihat dari segi bahasa, gaya bahasa adalah cara menggunakan bahasa. Gaya bahasa memungkinkan kita dapat menilai pribadi, watak, dan kemampuan sesorang yang mempergunakan bahasa itu. Semakin banyak gaya bahasanya, semakin baik pula penilaian orang terhadapnya: semakin buruk gaya bahasa sesorang, semakin buruk pula penilaian diberikan padanya.
Akhirnya style atau gaya bahasa dapat dibatasi sebagai cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperhatikan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa). Seperti halnya dengan Djenar dalam  cerpennya yang berjudul Mereka Bilang Saya monyet, dalam gaya penulisannya  Djenar  lebih berani, dan bahasa yang digunakannya pun tinggi sehingga kita sebagai pembaca akan mengalami kesulitan dalam memahami cerita yang ditulisnya dan langkah baiknya kita membaca dengan berulang-ulang.Namun cerpen Celotehan Sepatu karya Alphansyah lebih ke arah humoris.
























PEMBAHASAN
I.            Dari  cerpen Mereka Bilang Saya Monyet karya Djenar Maesa Ayu,  cerpen tersebut menggunakan simbol-simbol atau perumpamaan yang dijadikan senjata untuk menarik pembaca, maka untuk lebih dalam saya akan mengaji kedua cerpen tersebut dengan melihat dari sisi penulis dalam pemilihan kata (diksi) dan begitu pun dari segi gaya bahasa yang digunakannya.dari diksi (pilihan kata) dan gaya bahasa yang mana
Banyak dari cerpen Djenar Maesa Ayu dalam kumpulan Mereka bilang saya Monyet! Ini berkisar atau berlatar belakang ikhwal anak-anak masih sangat remaja yang tidak berbahagia dalam keluarga, karena kurang perhatian dan kasih sayang dari orangtua, atau karena ibu atau ayah yang lebih mementingkan serta asyik dengan diri sendiri, atau karena telah kehilangan orang tua di masa yang sangat muda, berikut pelecehan seksual terhadap sang anak oleh orang dekat dalam keluarga atau oleh lingkungannya (teman sekolah), sekaligus mendedahkan respon atau akibatnya bagi para korban.  
 Maka wajar jika penggambarannya (imajinasi) mendapatkan pemebesaran (Hyperbolic) dan cenderung karikatural seperti tampak dalam mereka bilang, saya monyet!” dimana orang-orang munafik digambarkan sebagai hewan aneh. Bila dalam sang “saya” tidak bisa melakukan perlawanan yang berarti, sang “saya” dalam cerpen ini mungkin karena tokohnya lebih dewasa bisa melakukan perlawanan dan melepaskan diri dari suasana munafik yang ditemuinya.
Yang unik dalam  cerpen Mereka Bilang Saya Monyet (MBSM), orang-orang munafik digambarkan seperti  hewan aneh:

kebutuhan saya untuk buang air kecil semakin mendesak. Saya mnegetuk pintu kamar mandi pelan-pelan, tidak ada jawaban tidak ada suara air dan tidak ada suara mengedan. Saya mendengar desahan tertahan. Desahan itu berangsur diam. Saya mengintip lewat lubang kunci bersaman dengan pintu dibuka dari dalam. Sepasang laki-laki dan perempuan keluar dari kamar mandi Yang laki-laki lantang memaki “dasar binatang! Dasar monyet ! Gak punya otak ngintip-ngintip orang!”. Seharusnya saya menghjar laki-laki berkepala buaya dan berekor kalajengking itu…”. (hal.3)

Kreatif  dalam pemilihan ide diksinya,  realitanya terkadang  binatang jauh lebih ”manusiawi” dan manusia seringkali berkelakar layaknya ”binatang”, dalam cerpen inimemberi perlawanan atas suasana kemunafikan yang ditemuinya. Menarik membaca cerpen ini karena dengan penghayatannya. Djenar mampu menggambarkan sosok-sosok munafik yang sejatinya memang terhampar di depan mata kita.

Penelitian stilistika menaruh perhatian pada penggunaan bahasa dalam karya sastra. Persoalan yang menjadi fokus perhatian stilistika adalah pemakaian bahasa yang menyimpang dari bahasa sehari-hari, atau disebut bahasa khas dalam wacana sastra. Penyimpangan penggunaan bahasa bisa berupa penyimpangan terhaap kaidah bahasa, banyaknya pemakaian bahasa daerah, dan pemakaian bahasa asing atau unsur-unsur asing. Penyimpangan terhadap kaidah kebahasaan tersebut diduga dilakukan untuk tujuan tertentu.
Pusat perhatian stilistika adalah penggunaan bahasa (gaya bahasa) secara literer dan sehari-hari. Sebagai stylist, seseorang harus mampu menguasai norma bahasa pada masa yang sama dengan bahasa yang dipakai dalam karya sastra. Penggunaan gaya bahasa juga diarahkan oleh bentuk karya sastra yang ingin dihasilkan. Misalnya, gaya penataan prosa fiksi (cerpen) berbeda dengan gaya penataan bentuk puisi. Dalam cerpen, selain fokus dalam alur cerita, penulis dapat menggunakan gaya bahasa dan bahasa kiasan agar cerpen yang dihasilkan  lebih hidup dan menarik pembaca.
Salah satu cerpen yang sarat dengan gaya bahasa dan bahasa kiasan adalah kumpulan cerpen Mereka bilang saya Monyet karya Djenar Maesa Ayu. Hampir semua barisnya menggunakan kata kiasan sehingga pembaca diajak untuk menikmati kalimat demi kalimat, bukan hanya menikmati alur ceritanya saja. Gaya bahasa dan bahasa kiasan yang terdapat di dalam cerpen  Mereka bilang saya Monyet karya Djenar Maesa Ayu antara lain Paralelisme, hiperbola, simile, metafora, dan personifikasi.
GAYA BAHASA BERDASARKAN LANGSUNG TIDAKNYA MAKNA
a.Gaya Bahasa Retoris
1.    Hiperbola
Hiperbola adalah semacam gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan, dengan membesar-besarkan sesuatu hal.  Gaya bahasa hiperbola yang antara lain:

 “Saling erat, saling mengaduh, hingga senja tiba dan pasang ombak menghanyutkan tubuh mereka ketengah”. (hal 38)

“bayangan rambut hitam laki-laki yang tergerai hingga dada menari-nari tertiup angin diatas kuda putih tak berpelana. (hal. 38)

“Laki-laki berkuda dengan dad bidang dan berkulit coklat kemerah-merahan terbakar surya untuk menjemputnya”. (hal. 38)

“Mayra mengecup mereka dengan lembut dan menuntun mereka menuju pelangi bertahtakan mutiara” (hal. 41)

b.    Gaya Bahasa Kiasan
Gaya bahasa kiasan ini pertama-tama dibentuk berdasarkan perbandingan atau persamaan. Membandingkan sesuatu dengan sesuatu hal yang lain, berarti mencoba menemukan ciri-ciri yang menunjukan kesamaan antara kedua hal tersebut. Perbandingan sebenarnya mengandung dua pengertian, yaitu perbandingan yang termasuk dalam gaya bahasa yang polos atau langsung, dan perbandingan yang termasuk dalam gaya bahasa kiasan. Perbandingan dengan analogi ini kemudian muncul dalam bermacam – macam gaya bahasa kiasan, seperti diuraiakan di bawah ini.
Di samping gaya bahasa, Djenar Maesa Ayu juga menggunakan bahasa kiasan untuk menekankan makna dan mempertahankan unsur estetis. Bahasa kiasan yang terdapat pada cerpen tersebut ada beberapa bahasa kiasan di antaranya:
a.      Persamaan atau simile
Persamaan atau simile adalah perbandingan yang bersifat eksplisit. Yang dimaksud dengan perbandingan yang bersifat eksplisit ialah bahwa ia langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain. Untuk itu, ia memerlukan upaya yang secara eksplisit menunjukkan kesamaan itu, yaitu kata-kata: seperti, sama, sebagai, bagaikan, laksana, dan sebagiannya. Gaya bahasa kiasan Simile diantaranya:
 “Saya hajar mukanya seperti apa yang saya harapkan sebelumnya” (hal.10)
“ Namun sikap duduk mereka masih sama seperti ketika pertama kali mereka datang ke kafe ini” (hal.5)
“Ia membayangkan laki-laki itu meraba payudaranya yang mulai tumbuh seperti yang pernah ia rasakan di kantin sekolah”. (hal. 38)
“Semuanya sunyi dan hening sama seperti ketika Mayra terjaga dari mimpinya”. (hal. 36)”
“Beberapa menit yang lalu ia tiba di sekolah dan seperti biasa lima anak berandalan itu mencegatnya di pintu pagar”. (hal. 39)
“Tidak seperti biasa, kamar itu tidak terkunci”. (hal. 41)
“Sebagai anak tunggal ia menghabiskan banyak waktu hanya dengan melamun tanpa seorang pun untuk diajak bicara. (hal. 31)
b.      Metafora
adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat: bunga bangga, buaya darat, buah hati, cindera mata, dan sebaginya. Bahasa kiasan metafora yang terdapat pada cerpen mereka bilang saya monyet antara lain:
“Kata mereka saya adalah seekor monyet” (hal. 3)
“ Saya sudah terbiasa menelan rongsokan tanpa dikunyah lebih dulu”. (hal.4)

“Dengkurannya sangat menggangu dan bau tidak sedap menyergap seisi ruangan itu” (hal. 13)

c.       Personifikasi atau prosopopoeia
Personifikasi atau prosopopoeia adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tak bernyata seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan. Personifikasi (penginsanan) merupakan suatu corak khusus dari metafora, yang mengiaskan benda-benda mati bertindak, berbuat, berbicara seperti manusia. Bahasa Kiasan Personifikasi dalam cerpen melukis jendela karya Djenar Maesa Ayu antara lain:
“Sebuah jendela besar tanpa tirai menghadap ke sebuah dunia yang ia inginkan. Ia sering masuk ke dalam jendela itu lalu menemukan dirinya terbaring di hamparan hangat pasir putih dan riak ombak menggelitik pucuk jari kakinya” (hal. 38) 
“Disambut dengan kelengangan dan kesejukan dari dalam rumahnya yang ber AC, ia akan segera masuk kamar dan menghabiskan waktu bercakap-cakap dengan lukisan itu” (hal. 31)

II.            Dalam cerpen Celoteh Sepatu, ditemukan adanya pemanfaatan sinonim seperti pada contoh berikut. “… syarat-syarat di lambungku mulai bergejolak. Penghuni “kampung tengah itu” mulai berdemonstarasi menuntut hak-haknya segera diperhatikan yaitu waktu makan siang yang hampir lewat.” Kata lambung dan kampung tengah itu bersinonim. Pengarang menggunakan frasa kampung tengahsebagai pengganti kata lambung untuk memberi kesan bahwa tokoh si aku memang sangat lapar sehabis pulang mengajar. Pemanfaatan sinonim bisa juga ditemukan dalam kutipan berikut. “ Mereka membalas dengan mencium tanganku sebagai tanda hormat melepas kepergian sang pencari nafkah.” Frasa sang pencari nafkah digunakan sebagai pengganti aku. Pencari nafkah di sini memberikan kesan bahwa si tokoh aku masih memiliki kebanggaan pada dirinya meskipun dia hanya seorang guru yang berpenghasilan pas-pasan. Ini juga menunjukkan rasa tanggung jawab si aku terhadap istri dan anak-anaknya. Selain itu, pemanfaatan sinonim yang lain ditemukan juga dalam kalimat: “Tidak lama kemudian bus pun bergerak meninggalkan bocah-bocah penjual jajanan. Anak-anak kurang beruntung itu kini menggantikan aku duduk di bangku reot …” Frasa bocah-bocah penjual jajanan mengacu kepada anak-anak kurang beruntung. Si pengarang sengaja menggantikannya dengan frasa anak-anak kurang beruntung untuk menunjukkan bagaimana sulitnya kehidupan yang dihadapi oleh anak-anak tersebut. Frasa ini juga memberikan kesan bahwa anak-anak itu hidup dari keluarga yang tak mampu sehingga dampak dari kondisi kehidupan itu memaksa mereka untuk melakukan sesuatu (dengan berjualan) membantu mencari penghasilan untuk orang tua mereka tanpa memperdulikan masa depan.

a.       Pemanfaatan Kata Daerah kata-kata dari bahasa daerah sering digunakan dalam karya sastra yang berlatar tempat daerah yang bersangkutan atau tokohnya berasal dari daerah tertentu. Dengan demikian, penggunaan kata- kata daerah menjadi sarana pelataran atau sarana penokohan. Dalam cerpen Celoteh Sepatu ini, pengarang menggunakan kata-kata daerah yang bervariasi. Ini menunjukkan luasnya wawasan si pengarang yang tertuang dalam dialog antara tokoh aku dengan sepatu bututnya. Adapun contoh pemanfaatan kata daerah tersebut dapat kita lihat pada kutipan berikut :
 “…. Apa yang bisa digugu dan ditiru dari seorang guru kere!” Kata gugu berasal dari bahasa jawa yang berarti dapat diikut. Ini memberikan kesan kesederhanaan si aku dan tokoh sepatu serta keakraban hubungan kedua tokoh tersebut. Pemakaian kata daerah terdapat juga dalam kalimat berikut “…. Yuk Ara sudah nagih!” “…. Salim Nak, Bapak mau berangkat kerja.” Kata Yuk berasal dari bahasa Palembang. Kata Yuk lengkapnya Ayuk berarti kakak perempuan sedangkan salim berasal dari bahasa Jawa yang juga dipakai dalam bahasa Palembang sehari-hari. Katasalim dalam konteks dialog di atas bermakna bersalaman Pemanfaatan kata-kata daerah seperti yang terdapat pada contoh di atas menunjukkan luasnya pengetahuan dan pengalaman si pengarang terhadap pemakaian kosa kata daerah. Dalam cerpen ini bahasa Palembang dan bahasa Jawa sangat dominan dipakai oleh pengarang. Ini menunjukkan keakraban si pengarang terhadap kedua daerah tersebut. 7.1.3 Pemanfaatan Kata Asing Penggunaan kata asing dalam percakapan dapat menimbulkan kesan atau sekurang-kurangnya dimaksudkan untuk menimbulkan kesan tertentu, misalnya “intelektual”, “sok intelektual”, atau kesan “wah!” Dalam cerpen Celoteh Sepatu ini terdapat beberapa kalimat yang memanfatkan kata-kata asing, seperti: “ Sorry, Bung ! …..” “ Opps, just kidding !” Kedua ungkapan itu diucapkan oleh si tokoh sepatu. Ini memberikan kesan watak dari tokoh si sepatu yang sok intelek menutupi keadaan sebenarnya. Tokoh si aku juga memanfaatkan kata asing ini seperti yang terdapat pada kalimat berikut. “ Tetapi pintaku lakukakanlah tugasmu dengan baik walau sering dipandang sebelah mata dan jauh dari prestise.” Kata prestise berasal dari bahasa Inggris “prestige” yang berarti wibawa. Pemakaian kata ini menunjukkan luasnya pengetahuan si aku yang seorang guru. Bahkan pemanfaatan kata ini diungkapnya dengan kalimat yang santun sehingga memberikan kesan kebersahajaan dan kerendahan hatinya. Penggunaan kata asing yang diucapkan si aku tidak terasa adanya kesan “sok intelek” seperti pada tokoh sepatu.

b.      Gaya Bahasa  Metafor dan Anomali “Metafor atau kiasan adalah majas yang mengandung perbandingan yang tersirat sebagai pengganti kata atau ungkapan lain untuk melukiskan kesamaan atau kesejajaran makna diantaranya” (Sudjiman, 1986:41). Di dalam perbandingan yang tersirat itulah sering terdapat anomali, yaitu “penyimpangan atau kelainan dipandang dari sudut konvensi gramatikal atau semantik suatu bahasa” (Kridalaksana, 1982:12). Perhatikan contoh berikut. “… keletihan sehabis mengajar di hari itu tumpah pada sebuah bangku yang reot di depan warung nasi dekat jalan itu.” Keletihan merupakan benda abstrak sedangkan tumpah dapat terjadi pada benda kongkret. Walaupun bersifat anomali maknanya dapat dipahami. Ini memberikan gambaran yang kongkret tentang perasaan letih yang tak tertahankan (abstrak) yang melanda tokoh aku. 7.2.2 Personifikasi Dalam majas ini sesuatu yang bukan manusia dibandingkan atau diandaikan sebagai insan. Sifat- sifat insan diproyeksikan pada suatu barang tak bernyawa. Contoh personifikasi tampak jelas pada judul cerpen ini Celoteh Sepatu. Sepatu sebagai benda mati tentu tidak dapat berceloteh. Lazimnya celoteh itu dipadankan dengan kata anak menjadi celoteh anak. Ini sebuah insanan yang merupakan penyimpangan semantis. Personifikasi juga terdapat dalam kalimat berikut. “Sol sepatuku menganga seolah siap mengejekku”. 7.2.3 Repetisi Majas repetisi menegaskan sesuatu dengan mengulangi bagian yang dianggap penting sehingga menimbulkan rasa semangat/dorongan. Majas repetisi ini terdapat dalam cerpen Celoteh Sepatuseperti yang tampak dalam kalimat berikut: “Dengung suara kendaraan dari kejauhan semakin lama semakin jelas, semakin kencang, semakindekat, lalu mendesing”. Majas repetisi pada kalimat di atas ditunjukkan dengan pemakaian kata semakin yang berulang. Ini memberi kesan adanya daya semangat dan dorongan pada tokoh aku dalam penantiannya menunggu tumpangan bis. Selain itu pemakaian repetisi juga terdapat dalam kalimat berikut. “Percuma- percuma …. Semua idealisme yang kau katakan di depan kelas, semua prinsip yang kau tanamkan kepada anak didikmu tidak akan berarti apa-apa bila melihat keadaanmu sekarang”. Pemanfaatan majas repetisi pada kalimat itu ternyata mengandung makna pesimis. Majas repetisi pada contoh di atas ditnjukkan dengan pengulangan pemakaian kata percuma dan semua. Makna pesimis ini bisa terjadi karena konteks kalimatnya berbeda dengan kalimat sebelumnya. Dari kedua contoh itu kita bisa memahami bahwa selain menimbulkan rasa semangat, ternyata repetisi bisa juga menimbulkan makna pesimis. Hal ini tergantung kepada konteks kalimatnya.

c.       Majas Pertautan Pars Pro Toto Majas pertautan pro toto menyebutkan nama bagian sebagai pengganti keseluruhannya (Sudjiman, 1986:56). Penyimpangan semantis yang terdapt padanya ternyata tidak membingungkan, bahkan menimbulka citra visual yang jelas seperti dalam kalimat: “Wajah mereka mengantar kepergianku sambil berharap agar aku lekas kembali …” Kata wajah menunjukkan majas pertautan pars pro toto. Ini memberikan kesan kedekatan hubungan tokoh aku dengan keluargnya.



























PENUTUP
1.      Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa dalam membuat cerpen, Djenar Maesa Ayu sangat memperhatikan nilai estetisnya sehingga banyak ditemukan gaya bahasa dan bahasa kiasan. Walaupun gaya bahasa yang digunakan Djenar sedikit vulgar dan sedikit berani. Ini yang membedakan Djenar dengan penulis yang lain.
2.      Dari  cerpen yang dianalisis, dari segi gaya bahasa retoris lebih banyak pada gaya bahasa hiperbola dan Simile. Djenar lebih berimajainasi dan banyak menggambarkan tokoh  dalam bahasa yang digunakannya yaitu bahasa kiasan. Gaya bahasa dan bahasa kiasan tersebut berfungsi memberikan efek estetis atau keindahan. Hal ini menjadikan karya Djenar menjadi lebih hidup dan berbeda dengan karya lainnya.
3.      Kejelian  Alphansyah dalam memanfaatkan diksi dan beberapa bentuk gaya bahasa membuat cerita pendek karyanya ini wajar dan hidup. Ketepatan pilihan itu juga menimbulkan rasa akrab antara pembaca dengan tokoh, seolah-olah pembaca berada di tengah-tengah mereka dan mengalami semua peristiwa yang dialami oleh tokoh-tokoh dalam cerita. Selain itu, dalam cerita pendek ini penulis membangun kisahnya sebagian besar dalam bentuk dialog yang terkesan humoris sehingga pembaca hanyut menikmati aliran-aliran dialog yang terasa segar mengungkapkan kesederhanaan kehidupan seorang guru yang berpenghasilan pas-pasan tetapi bersyukur dan masih dapat menikmati kehidupannya dengan bersahaja dan selalu optimis terhadap perubahan kondisi kehidupannya di masa depan.














DAFTAR PUSTAKA

Alpansyah. 2000. Celoteh Sepatu. Dalam Sriwijaya Post, 1 Agustus 2004. Palembang.  
  Hendy, Zaidan. 1989. Pelajaran Sastra. Jakarta : Gram

Ayu, Djenar Maesa. 2002. Mereka Bilang Saya Monyet. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
            Utama.

Keraf, Gorys, 2009. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
.
Suharianto, S. 1982. Dasar-dasar Teori Sastra. Surakarta: Widya Duta

Supriyanto, Teguh. 2009. Stilistika dalam Prosa. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen
            Pendidikan Nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar